Kamis, 04 Juni 2020

KESESUAIAN EKOWISATA DI PULAU PASUMPAHAN, KOTA PADANG

Tanto, Try Al, Aprizon Putra, and Fredinan Yulianda. 2017. “Kesesuaian Ekowisata Di Pulau Pasumpahan, Kota Padang.” Majalh Ilmiah Globe - BIG 19 (2): 135–46.  https://doi.org/10.24895/MIG.2017.19-2.606.

KESESUAIAN EKOWISATA DI PULAU PASUMPAHAN, KOTA PADANG

(Suitability of Ecotourism in the Pasumpahan Island, Padang City)

Try Al Tanto1, Aprizon Putra1, dan Fredinan Yulianda2

Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, BRSDM KKP1
Institut Pertanian Bogor2
Jalan Raya Padang - Painan Km. 16 Bungus, Padang, Sumatera Barat
E-mail: try.altanto@gmail.com

ABSTRAK

Pulau Pasumpahan terletak di Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang merupakan salah satu tempat tujuan wisata kepulauan. Tujuan penelitian ini yaitu menginventarisasi potensi sumber daya pesisir dan mengkaji kesesuaian kawasan dalam mendukung ekowisata Pulau Pasumpahan. Metode yang digunakan dalam kajian berupa pemetaan dan analisis kesesuaian kawasan ekowisata yang dilakukan dengan perhitungan skor dan bobot parameter. Hasil yang diperoleh adalah indeks kesesuaian ekowisata tertinggi terdapat pada potensi wisata pantai (rekreasi) yaitu sebesar 79,91% (sangat sesuai). Dari 9 sampel pengukuran yang tersebar di sekeliling pulau, 8 di antaranya menunjukkan nilai sangat sesuai, hanya satu titik yang menunjukkan sesuai bersyarat karena banyak sampah bertebaran di pantai dan perairan keruh. Untuk kesesuaian wisata snorkeling sebesar 51-68,13% (cukup sesuai) dan kesesuaian wisata selam sebesar 50-68,83% (cukup sesuai). Namun satu titik di sekitar pengukuran sebelah barat laut, sangat berpotensi dikembangkan untuk wisata selam menjadi lebih baik karena kondisi soft coral yang sangat indah berada pada kedalaman sekitar 6 m dengan dasar slope, cocok digunakan sebagai objek penyelaman. Sedangkan untuk wisata snorkeling pada lokasi barat laut tersebut tidak cocok, namun berpotensi untuk dikembangkan di sepanjang pulau yang memiliki pantai, melihat cukup lebar dan luasnya hamparan karang. Kesimpulan yang diperoleh adalah ekowisata bahari cukup potensi dikembangkan di Pulau Pasumpahan, di antaranya wisata pantai (rekreasi) (sebesar 79,91%/sangat sesuai), wisata selam, dan wisata snorkeling.
Kata kunci: ekowisata bahari, kesesuaian kawasan, wisata pantai, wisata selam, wisata snorkling, P. Pasumpahan, Kota Padang

ABSTRACT

Pasumpahan Island is located in the Bungus Teluk Kabung District, Padang City is one of the archipelago tourist destinations. The objective of the research is to inventory the potential of coastal resources and assess the regional suitability in supporting ecotourism of Pasumpahan Island. The method used in the study is the mapping and analysis of the suitability of ecotourism is done by calculating a score and weighting parameters used. The results obtained are the highest suitability index contained on coastal tourism potentials (recreation) is 79.91% (very suitable). 8 samples among 9 measurement points are around the island shows very suitable value, only one point showing the suitable conditional because a lot of trash were scattered on the beach and muddy waters. To suitability snorkeling by 51-68.13% (suitable enough) and diving by 50-68.83% (suitable enough). But one point around the northwest measurement is very likely to be developed for diving to be better because the conditions were very beautiful soft corals and a basic profile at a depth of 6 m started slope, suitable for use as a dive attraction. As for the snorkeling at the northwest location is not suitable, but has the potential to be developed along the island which has a coastal, looking quite a width and breadth of the reef flat. The conclusion are enough potential for marine ecotourism developed in Pasumpahan Island, such as coastal tourism (recreational) (amounting to 79.91% / very appropriate), diving and snorkeling ecotourism.
Keywords: marine ecotourism, regional suitability, beach tourism, snorkeling, diving, Pasumpahan Island, Padang City

PENDAHULUAN

Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang 84 km dengan kewenangan perairan seluas 72.000 ha, serta tersebar sebanyak 19 pulau kecil di sekitar wilayah perairannya (Disbudpar Kota Padang, 2013). Tentunya Kota Padang memiliki potensi wisata bahari yang cukup besar melihat luasnya perairan dan banyaknya pulau-pulau kecil yang ada tersebut. Hal ini akan meningkatkan perekonomian di Kota Padang, menurut Bappenas dalam berita ANTARA Sumbar (2015), potensi pariwisata kepulauan di Indonesia bisa mencapai ribuan trilliun rupiah. Oleh karena itu pembangunan wisata bahari pada pesisir pantai,
terutama pulau-pulau kecil mampu menjadi masa depan pariwisata di Indonesia. Salah satu prinsip ekowisata dari sisi ekonomi adalah pengusaha dan masyarakat harus bekerja sama dalam pengelolaan kunjungan wisata guna memaksimalkan manfaat ekonomi wisata (Tisdell, 1996 dan Wood, 2002 dalam Amir et al., 2011).

Selama dekade terakhir ini, ekowisata telah berkembang secara pesat, terutama ekowisata bahari. Sementara itu, ekowisata memiliki potensi untuk dapat memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosial, namun juga menjadi merusak jika tidak dilakukan dengan benar (Wood, 2002). Ekowisata didefinisikan sebagai perjalanan bertanggung jawab ke daerah alam yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat setempat, dan melibatkan interpretasi dan pendidikan (TIES, 2015). Ekowisata bahari merupakan ekowisata yang memanfaatkan karakter sumber daya pesisir dan laut. Sumber daya ekowisata terdiri dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata (Yulianda, 2007). Menurut Commission of the European Communities (2003) dalam Barkauskiene dan Vytautas (2013), pariwisata yang berkelanjutan adalah pariwisata yang secara ekonomis dan sosial yang layak tanpa mengurangi dari lingkungan dan budaya lokal.

Kegiatan wisata yang dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dikelompokkan menjadi wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga, menikmati pemandangan dan iklim. Sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya bawah laut dan dinamika air laut (Yulianda, 2007).
Pulau Pasumpahan termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bungus Teluk Kabung, terletak di bagian selatan Kota Padang. Pulau ini mulai menjadi salah satu tujuan wisata kepulauan di Kota Padang. Setelah berakhirnya Pulau Sikuai sebagai andalan wisata kepulauan di Kota Padang, pulau ini mulai dilirik banyak wisatawan, baik lokal Kota Padang, luar daerah, juga wisatawan mancanegara. Pulau Pasumpahan merupakan salah satu pulau di Kota Padang yang cukup dekat dari daratan utama, sangat mudah dijangkau, baik melalui jalan darat maupun jalan laut. Melalui transportasi darat, lokasi menuju Pulau Pasumpahan dapat ditempuh dengan melewati Kampung Sungai Pisang-Bungus, yang dilanjutkan dengan perahu nelayan untuk menyeberang (hanya beberapa menit penyeberangan). Melalui jalur laut, bisa ditempuh melalui Dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus, juga bisa melalui pesisir pantai di daerah Pasar Laban–Bungus (sekitar 30 menit perjalanan). Secara ekonomi, dengan akses yang terjangkau tersebut akan sangat diminati dan akan banyak dikunjungi oleh wisatawan, didukung oleh informasi pulau yang sudah menyebar luas. Selain akan meningkatkan pemasukan daerah, juga memperbaiki ekonomi masyarakat pesisir dekat pulau.

Informasi mengenai sumber daya pesisir yang dapat mendukung ekowisata di Pulau Pasumpahan, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat memerlukan identifikasi dan inventarisasi yang dilakukan secara ilmiah dan kontinu. Tujuan penelitian adalah menginventarisasi potensi sumber daya pesisir dan mengkaji kesesuaian kawasan dalam mendukung ekowisata Pulau Pasumpahan.

METODE

Data yang digunakan dalam pengolahan dan analisis kesesuaian ekowisata di Pulau Pasumpahan adalah data primer dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan dan juga data sekunder berupa pengukuranpengukuran sebelumnya yang sudah dilakukan pihak lain. Adapun data primer yang digunakan yaitu data pengukuran/monitoring terumbu karang (kondisi karang, percent cover, dan ikan-ikan karang), profil pantai (kemiringan, lebar, material/sedimen penyusun), vegetasi/tutupan lahan, dan kualitas air (kecerahan, pH, DO, suhu, salinitas, dan kekeruhan), serta arus permukaan. Sedangkan data sekunder hanya sebagai pelengkap, berupa data sampling karang yang sudah dilakukan pada beberapa tahun sebelumnya.

Peta-peta yang digunakan yaitu peta yang dikeluarkan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang dalam bentuk peta Kawasan Konservasi Pesisir dan PulauPulau Kecil (KKP3K) skala 1:5.000 tahun 2014, peta Taman Wisata Pulau Kecil (TWPK) skala 1:5.000 tahun 2014 dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat, dan data citra Google Earth sebagai dasar (base map) skala 1:4.500 tahun 2015, serta didukung dengan survei lapangan tahun 2015 berupa identifikasi keberadaan terumbu karang dan morfologi pantai.

Dalam penyusunan peta, perlu dilakukan pembuatan batasan, baik area untuk wisata pantai, wisata snorkeling, dan wisata selam. Area untuk wisata pantai yaitu di sekitar pesisir pantai hingga mencapai beberapa sentimeter kedalaman perairannya. Sedangkan area wisata snorkeling merupakan perairan yang memiliki batas dari garis akhir area wisata pantai hingga mencapai kedalaman 5 m. Pengambilan batasan area snorkeling berdasarkan pertimbangan bahwa area tersebut masih bisa dijangkau dengan menggunakan peralatan snorkeling saja, ditambah dengan konsultasi dengan pakar/narasumber. Sedangkan untuk area selam mengambil batasan kedalaman 5–15 m, merupakan area batas akhir area snorkeling hingga mencapai batas masih ditemukannya terumbu karang dan masih bisa dicapai untuk menikmati kondisi bawah air. Pengolahan data dilakukan pada area yang dibatasi tersebut, dengan melakukan perhitungan nilai data-data yang diukur, sehingga diperoleh nilai hasil kesesuaian ekowisata.

Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan Agustus 2015. Profil pantai yang diambil yaitu kemiringan, lebar, serta tipe pantai, jenis material dasar, dan penutupan lahan pantai, yang dilakukan secara visual/interpretasi. Semua data profil pantai ini merupakan parameter yang digunakan dalam perhitungan kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori rekreasi.

Data kualitas air laut diambil dengan menggunakan alat Hand-held Water Quality Meter WQC-24 Standard, menghasilkan data berupa suhu, salinitas, pH, DO, dan turbiditas (kekeruhan). Parameter kualitas perairan ini merupakan parameter umum yang biasa dipakai dan juga pendukung utama dalam pengembangan ekowisata di Pulau Pasumpahan. Selain data tersebut, juga diambil parameter kecerahan perairan dengan menggunakan alat secchi disk dan arus permukaan dengan alat floating drouge, yang berguna dalam perhitungan kesesuaian ekowisata.

Ekosistem terumbu karang diamati dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect). Data pengukuran lapangan ekosistem terumbu karang dilakukan pada 2 titik lokasi, yaitu bagian barat dan bagian selatan pulau. Sedangkan bagian sisi lain dari pulau diperoleh data pengukuran sebelumnya yang sudah dilakukan pada tahun 2012 dan 2014 oleh Dinas KP Provinsi Sumatera Barat. Pengukuran ekosistem terumbu karang juga disertai pengamatan ikan-ikan karang, sedangkan ekosistem pantai lainnya seperti mangrove dan lamun tidak dilakukan pengamatan.

Pengambilan titik-titik sampling pengamatan dilakukan untuk mewakili secara keseluruhan kondisi dari pulau. Hanya titik sampling karang saja yang menyesuaikan dengan titik pengamatan yang sebelumnya sudah ada. Titik-titik lokasi pengukuran dan pengamatan yang dilakukan di Pulau Pasumpahan disajikan pada Gambar 1.

Pengembangan ekowisata bahari di Pulau Pasumpahan, perlu memperhatikan potensi yang ada dan mengkaji kesesuaian ekosiwata bahari tersebut. Ekowisata bahari yang berpotensi dikembangkan di antaranya rekreasi pantai dan laut, wisata selam, dan wisata snorkeling.

Wisata pantai terdiri dari dua kategori yaitu kategori rekreasi dan wisata mangrove. Kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi mempertimbangkan dan menggunakan 10 parameter dengan empat klasifikasi penilaian.

Gambar 1. Peta Pulau Pasumpahan dan Titik Lokasi Pengukuran.

Tabel 1. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Pantai Kategori Rekreasi.

Sumber: Yulianda (2007)

Keterangan:

Nilai maksimum = 84

S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 75-100%

S2 = Cukup Sesuai, dengan nilai 50-<75%

S3 = Sesuai bersyarat, nilai 25-<50 %

N  = Tidak sesuai, dengan nilai <25%

Tabel 2. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Selam.

Sumber: Yulianda (2007)

Keterangan:

Nilai maksimum = 54

S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 75-100%

S2 = Cukup Sesuai, dengan nilai 50-<75%

S3 = Sesuai bersyarat, nilai 25-<50 %

N  = Tidak sesuai, dengan nilai <25%

Parameter kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi antara lain kedalaman perairan, tipe pantai, lebar pantai, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, penutupan lahan pantai, biota berbahaya, dan ketersediaan air tawar (Yulianda, 2007). Matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori rekreasi disajikan pada Tabel 1 di atas.

Wisata bahari terdiri dari tiga kategori yaitunya wisata selam, wisata snorkeling, dan wisata lamun. Dalam hal ini hanya dilakukan kajian pada dua kategori, wisata selam dan wisata snorkeling.

Secara umum, untuk wisata selam sangat berkaitan erat dengan keberadaan ekosistem terumbu karang sebagai objek penyelaman (Lynch et al., 2004 dalam Johan dkk., 2011). Kesesuaian wisata bahari untuk kategori selam memperhitungkan 6 parameter, seperti kecerahan perairan, tutupan koumintas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus, dan kedalaman terumbu karang. Matriks kesesuaian lahan untuk wisata selam disajikan pada Tabel 2, sedangkan untuk wisata snorkeling, matriks kesesuaian lahannya seperti yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Snorkeling.

Sumber: Yulianda (2007)

Keterangan:

Nilai maksimum = 57

S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 75-100%

S2 = Cukup Sesuai, dengan nilai 50-<75%

S3 = Sesuai bersyarat, nilai 25-<50%

N  = Tidak sesuai, dengan nilai <25%

Rumus yang digunakan untuk kesesuaian wisata adalah:  

  IKW          =  ∑ [ Ni/Nmaks] x 100 %

Keterangan:

  IKW          = Indeks Kesesuaian Wisata

  Ni             = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)

  Nmaks      = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pesisir pantai di sekitar Pulau Pasumpahan memiliki kemiringan berkisar antara 4,1-8,95°. Menurut Natural Resources Conservation Service Soils USDA, kriteria kemiringan lahan yang landai memiliki rentang nilai sebesar 1-8%, sehingga pesisir pantai di Pulau Pasumpahan dapat dikategorikan termasuk landai. Pernyataan Pethick dalam Cahyanto dkk. (2014) bahwa kelerengan pantai normal antara 0,01 (0,5°) hingga 0,2 (11°) yang termasuk pantai landai, dan ≥ 0,5 (26°) yang termasuk pada pantai curam. Namun pada beberapa bagian pulau, terutama arah barat laut pulau (antara titik pengamatan profil pantai 10 dan 13) yang disajikan pada Gambar 1 terdapat cliff (tebing), serta bagian kecil lainnya terdapat karang (tidak ada pesisir pantai), yaitu sebelah utara pulau (antara titik 1 dan 11) dan bagian timur (titik 3 dan 4).  Tipe sedimen pantai umumnya berpasir putih, pada beberapa lokasi juga terdapat pecahan karang di pantai. Sedangkan sedimen dasar perairannya berupa karang berpasir.

Lebar pantai di Pulau Pasumpahan berkisar antara 7,5-17,2 m, cukup mendukung dalam pengembangan wisata rekreasi pantai. Terutama pesisir pantai bagian tenggara pulau dengan lebar hingga mencapai 17,2 m, sangat sesuai dan mendukung ekowisata di pualu ini. Selain itu, pada bagian tenggara pulau ini juga terlihat luasnya lahan terbuka yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas di pulau. Vegetasi utama di pulau ini yaitu pohon kelapa, juga terdapat pohon ketapang, lampari, pandan laut, serta semak belukar dan hutan. Untuk vegetasi yang ada pada perairannya yaitu mangrove, lamun, dan alga (ganggang).

Secara umum, kondisi perairan sekitar Pulau Pasumpahan masih dalam kondisi baik dan cukup jauh dari pengaruh aktivitas di darat. Berikut hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air laut, serta hasil pengukuran arus permukaan disajikan pada Tabel 4.

Suhu perairan di Pulau Pasumpahan berkisar antara 30-30,6°C. Nilai ini sangat wajar, karena pada umumnya kisaran suhu permukaan laut pada daerah perairan Indonesia cukup lebar, yaitunya 26-31,5°C (Syaifullah, 2015). Nontji (2005) dalam BSN (2010), juga menyebutkan bahwa pada perairan Indonesia, suhu permukaan berkisar antara 28-31°C. Menurut Tomczak dan Godfrey (2001), suhu permukaan laut di daerah equator barat merupakan hamparan air yang sangat hangat, dapat berkisar di atas 28°C. Bahkan suhu tertinggi yang ditemui antara timur New Guinea dan khatulistiwa di mana rata-rata tahunan di atas 29,5°C. Pertumbuhan dan kehidupan biota air sangat dipengaruhi suhu air. Suhu optimal bagi kehidupan ikan di perairan tropis berkisar antara 28-32°C (Kordi dan Tancung, 2007). Untuk pertumbuhan plankton, suhu air laut di sekitar Pulau Pasumpahan tersebut sudah sangat baik karena suhu air laut optimum untuk pertumbuhan di laut tropis adalah antara 25-32°C (Hartoko, 2013). Terkait dengan ketahanan hidup ekosistem terumbu karang dan lamun, baku mutu suhu air laut berkisar antara 28°C - 30°C, sedangkan pada mangrove kisaran suhu lebih lebar yaitunya antara 28-32°C (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Berhubungan dengan wisata bahari, dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 2004 tersebut juga tercantum baku mutu suhu secara alami yang menyatakan kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat. Selain itu diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami tersebut, sehingga dapat dikatakan suhu di sekitar perairan Pulau Pasumpahan masih tergolong baik.

Nilai salinitas di perairan Pulau Pasumpahan adalah 32,5-33,9 ‰ dengan rata-rata sebesar 33,4 ‰ disajikan pada Tabel 4. Terlihat dari hasil tersebut, bahwa nilai salinitas perairan tidak begitu bervariasi, sebagai akibat sangat kurangnya pengaruh sungai di sekitar perairan yang dapat meningkatkan variasi salinitas perairan pantai. Menurut Supangat dan Susanna (2005), salinitas permukaan laut berkurang akibat air tawar di muara sungai-sungai besar dan akibat lelehan es dan salju di lintang tinggi. Sebaliknya, salinitas permukaan cenderung tinggi di laguna dan cekungan laut dangkal tertutup lainnya di lintang rendah dimana terjadi penguapan tinggi dan terbatasnya aliran air yang masuk dari daratan. Baku mutu salinitas air laut untuk biota laut, pada kelangsungan hidup terumbu karang dan lamun adalah 33-34 ‰, sedangkan pada mangrove dengan nilai sampai dengan 34 ‰ (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Untuk wisata bahari, nilai salinitas secara alami dan diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman. Artinya salinitas perairan sekitar Pulau Pasumpahan masih tergolong baik dan aman, sehingga mendukung kehidupan biota laut dan ekowisata di sekitar pulau.

Nilai pH air laut yang terukur pada perairan sekitar Pulau Pasumpahan adalah 8,93-9,05 dengan rata-rata sebesar 9,00 disajikan pada Tabel 4. Nilai ini cukup tinggi, karena baku mutu pH untuk wisata bahari sebesar 7-8,5 dengan perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH. Melihat masih alaminya pulau dan perairan sekitarnya, perlu diteliti lagi hasil pengukuran yang diperoleh, berupa kalibrasi untuk validitas alat ukur dan kondisi lainnya di sekitar parairan.

Nilai DO perairan Pulau Pasumpahan berkisar 7,15-9,46 mg/L dengan rata-rata sebesar 8,42 mg/L tersaji pada Tabel 4. Nilai tersebut sangat bagus, baik untuk kehidupan biota laut maupun pengembangan wisata bahari di sekitar pulau. Baku mutu DO untuk kehidupan biota laut dan juga wisata bahari memiliki nilai yang sama, yaitu sebesar >5mg/L. Untuk nilai kekeruhan (turbiditas) perairan Pulau Pasumpahan tidak terjadi permasalahan sama sekali, karena tidak terdeteksi kekeruhan di sekitar perairannya (kekeruhan hanya 0 NTU) tersaji pada Tabel 4Menurut Sutika (1989) dalam Armita (2011), kekeruhan dapat mempengaruhi gangguan terhadap proses respirasi, menurunkan kadar oksigen dalam air, dan terjadi gangguan terhadap habitat. Namun tidak terjadi masalah yang berarti terhadap habitat di sekitar Pulau Pasumpahan. Sedangkan nilai kecerahan yang terukur bervariasi, berkisar antara >4,5-10,37 m disajikan pada Tabel 4. Nilai >4,5 m tersebut terukur dengan kondisi bahwa kedalaman perairan lokasi pengukuran hanya sampai kedalaman 4,5 m, sehingga tidak memungkinkan alat ukur dalam pengukuran. Nilai kecerahan ini cukup mendukung dalam pengembangan wisata bahari, karena termasuk dalam kategori S1 (sangat sesuai) dan S2 (cukup sesuai).

Untuk kondisi arus di perairan Pulau Pasumpahan cukup kecil, berkisar antara 5,86-16,85 cm/dt, mendukung dalam pengembangan wisata bahari, termasuk dalam kategori S1 (sangat sesuai) dan S2 (cukup sesuai).

Tabel 4. Hasil Pengukuran Kualitas Perairan sekitar Pulau Pasumpahan.

Sumber: Pengolahan data (2015).

Ekosistem Terumbu Karang

Tutupan Karang

Lokasi pengukuran karang bagian barat laut pulau (1°7'1,60"LS dan 100°21'51,70"BT) terdapat di depan dinding batu cadas. Kemiringan dasar perairan di tubir sampai kedalaman 10 m sekitar 50° dengan substrat dasar keras dan patahan karang mati. Pada kedalaman 10-25 m, kemiringan sekitar 85° banyak ditumbuhi gorgonian dan softcoral dengan bentuk yang bagus. Pada kedalaman lebih dari 25 m kemiringan sekitar 45° dengan substrat pasir dan patahan karang mati, ditemukan Achantaster placi. Percent cover karang keras hidup 7,70% yang terdiri dari 1,8% acropora dan 5,90% non-acropora. Spesies karang yang ditemukan pada lokasi ini yaitu Acropora sp, Montipora sp, Fungia sp, Sponge sp, Pocillopora sp, dan Astreopora sp, dengan dominasi dari karang jenis Montipora sp. Namun, walaupun tutupan karang keras hidup cukup rendah, namun kondisi softcoral yang cukup baik dan indah menjadikan lokasi ini sangat potensial sebagai lokasi penyelaman dan dapat dikembangkan menjadi lebih baik.

Pengukuran karang bagian selatan pulau (1°7'15,00"LS dan 100°22'6,20"BT), memiliki kemiringan dasar perairan sekitar 45° dengan substrat dasar keras, patahan karang mati, pasir, dan lumpur. Dominasi oleh karang jenis porites yang bisa ditemukan sampai kedalaman 8 m. Karang hidup masih ditemukan sampai kedalaman 22 m. Percent Cover karang keras hidup 43,33% yang terdiri dari 3,23% acropora dan 40,10% non-acropora. Spesies karang yang ditemukan pada lokasi ini yaitu Montipora sp, Porites sp, Acropora sp, Pectinia sp, Coeloseris mayeri, dan Favia sp.

Ikan Karang

Pengamatan ikan karang dilakukan secara visual di sekitar area pengukuran karang. Jenis ikan yang diamati dibagi menjadi 3, yaitu ikan indikator, ikan target, dan ikan mayor.

1.     Ikan Indikator

Hasil pengamatan menunjukkan spesies ikan indikator yang ditemukan pada perairan Pulau Pasumpahan yaitu Chaetodon bennetti, Chaetodon collare, Chaetodon kleinii, Chaetodon lunula, Chaetodon oxycephalus, Chaetodon rafflesii, Chaetodon triangulum, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon vagabundus, Heniochus acuminatus, Heniochus pleurotaenia, dan Heniochus singularis. Spesies ikan indikator yang banyak dijumpai adalah pada stasiun 1 (bagian barat laut), yaitu sebanyak 9 spesies, namun hanya 15 individu yang terindentifikasi. Sedangkan lokasi pengamatan sebelah selatan pulau hanya teramati 5 spesies dengan 22 individu yang terindentifikasi.

Keragaman ikan indikator pada lokasi sebelah barat lebih tinggi dibandingkan dengan sebelah selatan yaitu sebesar 2,06, artinya ikan indikator di bagian barat cukup banyak dan bervariasi. Sedangkan keragaman ikan indikator pada bagian selatan pulau sebesar 1,40. Hasil pengamatan ikan indikator di dua lokasi Pulau Pasumpahan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Ikan Indikator di Pulau Pasumpahan.

2. Ikan Target

Kelompok ikan target rata-rata didominasi oleh famili Acanthuridae dan Caesionidae. Keberadaan ikan target pada terumbu karang tidak hanya tergantung pada kondisi tutupan karang hidupnya, namun sangat ditentukan oleh kondisi struktur terumbu tersebut baik sebagai tempat berlindung maupun sebagai tempat bersembunyi dari predator lain. Rata-rata pada kondisi struktur terumbu karangnya bagus akan banyak dijumpai kelompok ikan target. Pada lokasi pengamatan, kelimpahan ikan target paling tinggi dijumpai pada bagian barat laut perairan Pulau Pasumpahan disajikan pada Tabel 6.

Untuk keragaman jenis ikan target pada bagian selatan pulau yaitu sebesar 2,26, lebih tinggi daripada bagian barat lautnya sebesar 1,89.

Tabel 6. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Ikan Target di Pulau Pasumpahan.

Sumber: Pengolahan data (2015).

Kelompok ikan mayor merupakan jenis-jenis ikan yang tidak dikonsumsi dan rata-rata berukuran kecil, beberapa jenisnya termasuk ke dalam jenis ikan hias dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Rata-rata kelompok ikan target ini hampir tiap lokasi didominasi oleh famili Pomacentridae.3. Ikan Mayor

Keragaman jenis ikan mayor pada bagian barat laut pulau sebesar 1,12, lebih tinggi dibandingkan dengan keragaman pada selatan pulau sebesar 0,61 disajikan pada Tabel 7. 

Tabel 7. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Ikan Mayor di Pulau Pasumpahan.

Sumber: Pengolahan data (2015).

Kesesuaian Ekowisata

Pada umumnya, ekowisata bahari sangat cocok untuk dikembangkan di daerah pulau-pulau kecil, begitupun dengan Pulau Pasumpahan. Pesisir pantai pulau ini cukup luas dan berpasir putih, pemandangan alamnya bagus, serta terdapat ekosistem terumbu karang yang cukup baik akan menjadi daya tarik pulau untuk dikunjungi wisatawan.

Pesisir pantai Pulau Pasumpahan sangat sesuai untuk dijadikan sebagai lokasi wisata pantai kategori rekreasi. Sepanjang pantai pulau ini, dari seluruh hasil pengukuran dan analisis, 88,89% di antaranya menunjukkan nilai yang sangat sesuai, hal ini disajikan pada Gambar 2. Hanya 11,11% saja dari pesisir pantai pulau ini yang menunjukkan kategori sesuai bersyarat (mendekati tidak sesuai), karena banyaknya sampah dan perairan yang keruh. Namun sebagian besar lainnya terdiri dari tebing (cliff), yaitu bagian utara dan barat laut pulau tentunya tidak dapat digunakan sebagai lokasi untuk wisata pantai. Hasil pemetaan kesesuaian lahan di Pulau Pasumpahan sebagai wisata pantai/rekreasi disajikan pada Gambar 2, dan hasil perhitungan area wisata snorkeling pada Tabel 8.


Gambar 2. Peta Kesesuaian Lahan untuk Wisata Pantai kategori Rekreasi di Pulau Pasumpahan.

Ekowisata bahari untuk kategori snorkeling di Pulau Pasumpahan cukup sesuai untuk dikembangkan menjadi lebih baik disajikan pada Gambar 3. Batasan kedalaman perairan yang digunakan sebagai lokasi wisata snorkeling adalah sekitar 5 m, yang masih dapat dilakukan aktivitas berupa tuckdive dan melihat pemandangan bawah air berupa hamparan karang, ikan-ikan karang dan ditambah dengan adanya beberapa vegetasi bawah air dan biota laut lainnya.

Tabel 8. Hasil Kesesuaian Zona Kawasan Pantai di Pulau Pasumpahan.

Sumber: Pengolahan data (2015).

Gambar 3. Peta Kesesuaian Lahan untuk Ekowisata Bahari Kategori Snorkeling di Pulau Pasumpahan.

Lokasi bagian timur dan barat laut-utara pulau sangat sesuai dijadikan sebagai tempat snorkeling disajikan pada Gambar 3, selain kondisi dan tutupan karang yang cukup baik, wilayah perairan ini juga cukup luas untuk aktivitas snorkeling. Bahkan pada lokasi bagian barat laut-utara pulau yang merupakan pantai terpisah direncanakan sebagai lokasi tertutup khusus untuk wisatawan mancanegara yang menginginkan ketenangan. Namun, kawasan pasir juga cukup luas pada perairannya, terutama bagian barat daya menjadikan lahan wilayah ini tidak sesuai. Hasil luasan area untuk wisata snorkeling dapat terlihat dari Tabel 9.

Ekowisata bahari kategori selam memiliki kesesuaian lahan cukup beragam. Peta kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori selam disajikan pada Gambar 4, dan hasil luasannya pada Tabel 10.

Tabel 9. Luas Kesesuaian Zona Kawasan Snorkeling di Pulau Pasumpahan.

Sumber: Pengolahan data (2015).

Gambar 4. Peta Kesesuaian Lahan untuk Ekowisata Bahari Kategori Selam di Pulau Pasumpahan.

Tabel 10. Luas Kesesuaian Zona Kawasan Selam di Pulau Pasumpahan.

Sumber: Pengolahan data (2015).

Seperti halnya kesesuaian lahan untuk snorkeling, wilayah bagian timur dan barat laut-utara merupakan kawasan yang sangat sesuai sebagai tempat penyelaman disajikan pada Gambar 4. Lokasi tersebut memiliki kondisi karang yang baik, ditambah lagi kondisi softcoral yang sangat cantik menjadikan bagian barat laut pulau direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi lebih baik lagi.

KESIMPULAN

Ekowisata bahari cukup potensial dikembangkan di Pulau Pasumpahan, di antaranya wisata pantai (rekreasi), wisata selam, dan wisata snorkeling. Indeks kesesuaian tertinggi terdapat pada potensi wisata pantai (rekreasi) yaitu sebesar 79,91% (sangat sesuai). Daerah pesisir pantai yang ada di pulau, hanya satu titik menunjukkan sesuai bersyarat karena banyak sampah bertebaran di pantai dan perairan keruh.

Nilai kesesuaian wisata snorkeling sebesar 51-68,13% (cukup sesuai) dan kesesuaian wisata selam sebesar 50-68,83% (cukup sesuai). Satu titik di sekitar pengukuran sebelah barat laut, sangat berpotensi dikembangkan untuk wisata selam menjadi lebih baik dengan kondisi soft coral yang sangat indah berada pada kedalaman sekitar 6 m.

Wisata snorkling pada lokasi barat laut tersebut tidak cocok dikembangkan, namun berpotensi untuk dikembangkan di sepanjang pulau yang memiliki pantai, melihat cukup lebar dan luasnya hamparan karang.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada Kepala LRSDKP Bungus - BRSDM KKP sekaligus selaku Ketua Kelompok Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir LRSDKP, atas dukungannya dalam pelaksanaan kegiatan ini. Terima kasih juga kepada teman-teman peneliti, asisten peneliti, teknisi, dan administrasi LRSDKP yang membantu terlaksananya seluruh kegiatan penelitian sampai selesai.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, S., F. Yulianda, D.G. Bengen, dan M. Boer. (2011). Optimalisasi Pemanfaatan Wisata Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Propinsi NTB). Jurnal Agrisains. Vol. 12 (3). 8 hlm.

ANTARA Sumbar. (2015). Bappenas: Potensi Pariwisata Kepulauan Rp. 4000 Triliun. http://www.antarasumbar.com/berita/pariwisata/j/9/384138/bappenas-potensi-pariwisata-kepulauan-rp4-000-triliun.html. [30 Januari 2015].

Armita, D. (2011). Analisis Perbandingan Kualitas Air di Daerah Budidaya Rumput Laut dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut, Dusun Malelaya, Kabupaten Takalar. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Jurusan Perikanan. Univiversitas Hasanuddin Makasar.

Barkauskiene, K. dan V. Snieska. (2013). Ecotourism As An Integral Part of Sustainable Tourism Development. Economics and Management Journal. Vol. 18 (3).

BSN [Badan Standardisasi Nasional]. (2010). Basis data spasial oseanografi: suhu salinitas, oksigen terlarut, derajat keasaman, turbiditas, dan kecerahan. Rancangan Standar Nasional Indonesia 3. 7644: 2010. 17 hlm.

Cahyanto, N. Priyo., H. Setiyono, E. Indrayanti. (2014). Studi Profil Pantai di Pulau Parang Kepulauan Karimunjawa Jepara. Jurnal Oseanografi UNDIP. Vol. 3 (2).

Disbudpar Kota Padang. (2013). Profil Pariwisata Kota Padang.

Hartoko, A. (2013). Oseanographic Characteristers and Plankton Resources of Indonesia. Penerbit: Graha Ilmu. Cetakan pertama. Hal 5. Yogyakarta.

Johan, Y., F. Yulianda, V.P. Siregar, dan I. Karlina. (2011). Pengembangan Wisata Bahari dalam Pengelolaan Sumber daya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Kesesuaian dan Daya Dukung – Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung. Seminar Nasional “Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Dari Aspek Perikanan Kelautan dan Perikanan”. Institut Pertanian Bogor. Prosiding. 11 hlm.

Kementerian Lingkungan Hidup. (2004). Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari dan Biota Laut, Jakarta.

Kordi, M.G.H.K. dan A. B. Tancung. (2007). Pengelolaan Kualitas Air dalam Budi Daya Perairan. Penerbit: Rineka Cipta. Cetakan pertama. Hal 58. Jakarta.

Natural Resources Conservation Service Soils - United States Department of Agriculture. https://www.nrcs.usda.gov/wps/portal/nrcs/detail/soils/ref/?cid=nrcs142p2_054253. [16 Februari 2017].

Supangat, A. dan Susanna. 2005. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber daya Non-Hayati, BRKP-DKP.

Syaifullah, M. D. (2015). Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia dan Hubungannya dengan Pemanasan Global. Jurnal Segara. Vol. 11 (2). syHal 103-113.

TIES (The International Ecotourism Society). (2015). What is Ecotourism?. https://www.ecotourism.org/what-is-ecotourism. [5 Oktober 2015].

Tomczak, M. dan J.S. Godfrey. (2001). Regional Oceanography: An Introduction. Published online – pdf version.

Wood, M.E. (2002). Ecotourism: Principles, Practices & Policies For Sustainability. United Nations Environment Programme - The International Ecotourism Society. First edition.

Yulianda, F. (2007). Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumber daya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sain Departemen MSP, FPIK IPB. Bogor. 



Senin, 01 Juni 2020

KUALITAS AIR LAUT UNTUK MENDUKUNG WISATA BAHARI DAN KEHIDUPAN BIOTA LAUT (Studi Kasus: Sekitar Kapal Tenggelam Sophie Rickmers, Perairan Prialaot Sabang)

Tanto, Try Al, Nia Naelul HR, dan Ilham. 2018. “Kualitas Air Laut Untuk Mendukung Wisata Bahari Dan Kehidupan Biota Laut (Studi Kasus: Sekitar Kapal Tenggelam Sophie Rickmers, Perairan Prialaot Sabang).” Jurnal Kelautan Trunojoyo 11 (2): 173–83.


KUALITAS AIR LAUT UNTUK MENDUKUNG WISATA BAHARI DAN KEHIDUPAN BIOTA LAUT
Studi Kasus: Sekitar Kapal Tenggelam Sophie Rickmers, Perairan Prialaot Sabang
(SEA WATER QUALITY TO SUPPORT MARINE TOURISM AND LIFE OF SEA ORGANISM CASE STUDY: PRIALAOT SABANG WATER, AROUND SHIPWRECK OF SOPHIE RICKMERS)
Try Al Tanto*1, Nia Naelul HR1, dan Ilham1
1Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, BRSDMKP, KKP
Jl. Raya Padang-Painan Km. 16, Bungus, Padang, Sumatera Barat – 25245
*Corresponding author e-mail: try.altanto@gmail.com

Submitted: 13 Agustus 2018 / Revised: 26 Desember 2018 / Accepted: 26 Desember 2018
http://doi.org/10.21107/jk.v11i2.4276

ABSTRACT

Prialaot Sabang Water is planned as marine tourism area. There is Shipwreck Site MS Sophie Rickmers. The site is which one underwater tourism that very much interested. Quality water studies is done because which one the parameter of very important especially for marine life that is inseparable from marine tourism. The goal are to known the condition more water quality parameters in Shipwreck around. Measurements of water quality is done directly and testing in a labotatory also. The results are paramater as visibility (8-11 m or 80-100%), turbinity (mean 0.08 NTU), pH (mean 8,27), TDS (mean 51,25 mg/L), salinity (mean 31,27‰), temperature (mean 29,22°C), BOD.5 (mean 0.78 mg/L), nitrite (mean 0,0075 mg/L), ammonia (mean 0,05 mg/L), and heavy metals (Zn, Pb, Cu, and Cd, not detected on checking). Some other parameters must to protected as, DO, nutrient (phospate and nitrate), and TSS. Generally, DO value is 4,53 mg/L not significant effect for life of sea organism, but still up down from quality standards (5 mg/L). Means of Phospate values 0,08 mg/L and nitrite values 1,17 mg/L are high from quality standard than life of sea organism dan marine tourism. TSS parameter has high value also is mean of 21,83 mg/L. The condition of water quality still good for life organism and marine tourism there.
Key words: sea water quality, marine tourism, marine life, sophie rickmers, Sabang

ABSTRAK 

Perairan Prialaot - Sabang direncanakan sebagai lokasi kegiatan wisata bahari. Di perairan ini terdapat kapal tenggelam MS Sophie Rickmers, merupakan salah satu tujuan wisata bawah air yang banyak diminati. Perlu dilakukan kajian kualitas perairan, merupakan parameter penting suatu perairan laut terutama bagi kehidupan biota laut yang tidak terpisahkan dari aktivitas wisata bahari. Tujuannya adalah untuk mengetahui kondisi terkini beberapa parameter kualitas perairan. Pengukuran kualitas perairan dilakukan secara in-situ dan pengujian di laboratorium. Hasil yang diperoleh, yaitu nilai kecerahan perairan (8-11 m atau 80-100%), kekeruhan perairan (rataan 0,08 NTU), pH (rataan 8,27), TDS (rataan 51,26 mg/L), salinitas (rataan 31,27‰), suhu (rataan 29,22°C), BOD.5 (rataan 0,78 mg/L), nitrit (rataan 0,0075 mg/L), amoniak (rataan 0,05 mg/L), dan logam berat (Zn, Pb, Cu, dan Cd, tidak terdeteksi dalam pengujian alat di laboratorium). Sedikit catatan untuk parameter DO, nutrien (phospat dan nitrat), dan TSS perairan. Secara umum, nilai DO (rataan 4,53 mg/L) tidak berpengaruh signifikan terhadap biota laut, namun masih kurang dari baku mutu (5 mg/L). Kondisi nutrien (phospat dan nitrat) masih bernilai tinggi (rata-rata 0,08 mg/L dan 1,17 mg/L) dan berada di atas baku mutu air laut. Untuk nilai parameter TSS perairan, memiliki nilai yang juga cukup tinggi dengan rata-rata sebesar 21,83 mg/L. Hasil yang diperoleh bahwa kondisi kualitas air laut sekitar kapal tenggelam MS Sophie Rickmers perairan Prialaot Sabang masih dalam kondisi yang baik untuk keperluan wisata bahari dan kehidupan biota laut.
Kata kunci: kualitas air laut, wisata bahari, biota laut, kapal tenggelam sophie rickmers, Sabang


PENDAHULUAN

Perairan Prialaot direncanakan sebagai lokasi kegiatan wisata bahari, karena pada perairan ini terdapat kapal tenggelam Sophie Rickmers, yang merupakan salah satu tujuan dari wisata bawah air. Kapal tenggelam MS Sophie Rickmers berada pada kedalaman sekitar Perairan ini terletak pada bagian utara Pulau Weh Sabang, dengan kondisi perairan teluk yang cukup tenang.

Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh memiliki potensi wisata yang cukup beragam. Diantara sekian banyak potensi tersebut adalah dari potensi pesisir pantai dan pemandangan bawah lautnya, yang memiliki pasir putih, terumbu karang, dan ikan hias di kolom perairannya (Sobari, Fauzi and Iqbal, 2006). Lokasi TWA Laut Pulau Weh ini berada dekat dengan lokasi studi, tentunya masih memiliki potensi yang hampir sama. Potensi-potensi yang ada tersebut dapat dikembangkan sehingga menjadi penunjang wisata bahari di sekitar lokasi kajian. Menurut (Yulianda, 2007) wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya bawah air dan dinamika air laut. Hal tersebut salah satunya berkaitan erat dengan kondisi kualitas perairannya.
Disamping potensi yang ada tersebut, lingkungan perairan Prialot ini juga tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh tertentu, baik dari alam ataupun akibat ulah masyarakat setempat. Pencemaran lingkungan perairan dapat terjadi yakni dengan masuknya zat-zat asing ke dalam perairan tersebut sehingga merubah sifat (fisik, kimia, biologis) perairan tersebut (Ketchum, 1972; Edyanto, 2008). Dari kajian yang dilakukan oleh (Kurnio, Lubis and Widi, 2015), salah satu lokasi di sekitar Pulau Weh yaitunya perairan Prialaot terdapat Gunung Api Bawah Laut (Submarine Volcano). Kondisi alamiah tersebut, tentunya akan mempengaruhi perairan sekitarnya secara langsung, dan biota laut secara tidak langsung. Salah satu kondisi parameter air laut yang mendapat pengaruh nyata adalah dari suhu perairan. Selain itu, nutrien tertentu juga tidak menutup kemungkinan dari hasil aliran gunung api tersebut. Pencemaran suatu perairan laut terutama juga dapat terjadi akibat tumpahan minyak, hampir seluruh kegiatan yang berada di wilayah pesisir melakukan pembuangan limbahnya ke laut (Edyanto, 2008).

Untuk memaksimalkan potensi yang ada tersebut, serta sebagai antisipasi dari pengaruh pencemaran yang dapat terjadi, maka perlu dilakukan kajian tentang lingkungan perairannya, untuk melakukan rona awal dan proteksi ke depannya jika sudah banyak aktivitas wisata berlangsung. Kondisi lingkungan suatu perairan sangat penting dikaji sejak awal, untuk dijadikan acuan dan masukan nantinya dalam proses perkembangannya menjadi lokasi wisata yang berkelanjutan (Tanto et al., 2018).

METODOLOGI 

Terdapat 10 titik pengukuran kualitas air secara langsung di perairan Prialaot (Gambar 1), sedangkan untuk pengujian di laboratorium hanya dilakukan pada titik SW1, SW2, SGD Prialaot, SW3, SW4, dan SW6 sebagai nilai yang cukup mewakili nilai kualitas air laut secara keseluruhan di perairan Prialaot Sabang.
Pengukuran kualitas air laut dilakukan secara langsung (in-situ) di lapangan pada bulan Agustus 2017 menggunakan alat pengukur TOA multiparameter checker (Gambar 2.a), menghasilkan beberapa parameter kualitar air laut diantaranya pH, TDS (total dissolved solid), salinitas, suhu, kekeruhan, dan oksigen terlarut (dissolved oxigen/DO). Alat ukur TOA dicelupkan ke dalam air laut, baik pada permukaan laut maupun pada kedalaman tertentu (sekitar 5 m). Nilai parameter-paramater yang tersebut di atas akan muncul pada display, dengan perlakuan hingga angka yang tertera cukup stabil. Selain itu, juga menggunakan alat secchi disk (Gambar 2.c) untuk menentukan kecerahan perairan, sehingga dapat menguatkan data kekeruhan yang dihasilkan oleh alat ukur TOA. Untuk pengambilan sampling air laut, terutama untuk kedalaman tertentu (5 m) dilakukan dengan menggunakan botol Nansen (Gambar 2.b).


Gambar 1. Titik lokasi pengambilan data kualitas air perairan Prialaot Sabang 
  
Gambar 2. Beberapa alat ukur kualitas air laut: a) TOA multiparameter checker,
b) botol Nansen, dan c) secchi disk

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi kualitas air laut sekitar kapal tenggelam Sophie Rickmers (perairan Prialaot - Sabang) masih dalam kondisi yang baik dan belum terlihat adanya gangguan yang berarti. Hal ini dapat terlihat dari hasil pada Tabel 1, menjadikan lokasi tersebut sangat cocok dikembangkan menjadi kawasan ekowisata bahari terutama untuk wisata selam. Walaupun secara kedalaman laut, posisi kapal tenggelam tersebut masih cukup dalam untuk penyelam pemula / basic, baru bisa dijadikankan untuk penyelam expert dan selam ilmiah. Namun tidak menutup kemungkinan di kemudian hari juga dapat di buat skenario untuk bisa dinikmati dan dilakukan oleh berbagai kalangan penyelam atau penikmat bawah air.

Parameter kecerahan perairan, di sekitar perairan Prialaot memiliki perairan yang sangat baik, kecerahan perairan mencapai 80 - 100 % dan 8 - 11 m (Tabel 1), terutama pada lokasi kapal tenggelam (SW1) memiliki kecerahan perairan mencapai 90 - 100 %. Berdasarkan baku mutu dari KepmenLH tahun 2004, kecerahan perairan lebih dari 6 m sudah cocok untuk dijadikan sebagai tempat wisata bahari, apalagi hingga mencapai 100% tentunya perairan di sekitar kapal tenggelam tersebut sangat baik. Dikuatkan lagi berdasarkan kekeruhan perairannya yang memiliki rata-rata nilai sebesar 0,08 NTU, bahkan tidak terlihat kekeruhan perairan yang berarti (secara umum 0 NTU). Semakin kecil atau rendah tingkat kekeruhan suatu perairan, semakin dalam cahaya dapat masuk ke dalam badan air (Tanto and Kusumah, 2016). Sehingga nilai yang diperoleh tersebut merupakan kondisi yang normal, yang kecerahan perairan berbading terbalik dengan nilai kekeruhan perairan. Selain itu, kekeruhan juga berpengaruh terhadap kandungan oksigen dalam air. Air yang sangat keruh dapat mengganggu proses respirasi dan menurunnya kadar oksigen dalam air (Mutmainah et al., 2016). Hanya pada lokasi muara sungai sekitar perairan Prialaot saja yang memiliki kekeruhan perairan sebesar 1,5 NTU, sangat wajar karena bagian muara merupakan aliran yang cukup dinamis, terdapat masukan sedimen dari aliran sungai ke laut.

Tabel 1. Data in-situ kualitas air laut sekitar perairan Prialaot Sabang
      Catatan: Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam, dan musim)

Berdasarkan parameter pH perairan, memiliki kisaran nilai sebesar 7,64 – 8,36, rata-rata sebesar 8,27 (Tabel 1). Nilai paling rendah sebesar 7,64 merupakan lokasi SGD / sumber air tanah (Gambar 3), yang diduga memiliki kandungan air tawar. Selain itu, juga terlihat pada muara sungai memiliki pH perairan yang juga lebih rendah dari lokasi lainnya sebesar 8, merupakan lokasi perairan yang juga terjadi percampuran dengan air tawar sehingga memiliki pH perairan yang lebih rendah. Secara kedalaman (antara permukaan dan kedalaman 5 m), secara umum nilai pH perairan masih dalam kisaran yang sama, hanya terlihat data cukup berbeda pada lokasi SGD, yang mana pada permukaan dengan nilai yang cukup rendah (payau) sedangkan pada kedalaman 5 m masih normal seperti pH perairan laut secara umum pada lokasi tersebut. Dengan kondisi pH perairan ini, secara umum nilainya masih aman dan baik untuk pengembangan wisata bahari (baku mutu KepmenLH 2004 sebesar 7 – 8,5). Nilai baku mutu untuk biota lautpun sama dengan baku mutu wisata bahari, sehingga kondsisi pH perairan tersebut masih cocok untuk kehidupan biota laut untuk hidup lebih baik. Total dissolved solid (TDS) tidak ada dalam pembahasan baku mutu air laut untuk wisata bahari maupun biota laut dalam KepmenLH tahun 2004, kebanyakan hanya dari parameter TSS (total suspended solid), namun akan sedikit dibahas karena merupakan salah satu data yang terukur oleh alat TOA. Nilai TDS yang terukur berkisar antara 29,4 – 53,3 mg/L dan rata-rata sebesar 51,26 mg/L (Tabel 1), artinya cukup banyak jumlah partikel padat terlarut, baik berupa senyawa organik maupun anorganik yang berukuran lebih kecil dari 1 nanometer. Dengan ukuran yang sangat kecil tersebut, tentunya hal yang wajar terdapat dalam perairan laut yang bergerak dinamis, dapat berupa debu dari lumpur ataupun plankton yang melayang dalam air. Dari Enviromental Protection Agency (EPA) USA dalam (Anonim, 2014), menyarankan bahwa kadar maksimal kontaminan TDS adalah sebesar 500mg/liter (500 ppm), sedangkan nilai ideal suatu perairan mencapai 50 mg/L (Anonim). Sehingga dengan nilai TDS yang ada pada sekitar perairan lokasi kapal tenggelam tersebut, tentunya tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi perairannya dan juga mendukung wisata bahari di kawasan ini, serta baik bagi kehidupan biota laut. Secara kedalaman, nilai TDS tidak mengalami perbedaan yang signifikan, antara permukaan dan kedalaman 5 m, kisaran nilai TDS masih bernilai hampir sama (Gambar 4).


Gambar 3. Grafik pH perairan sekitar Prialaot Sabang

Gambar 4. Grafik TDS perairan sekitar Prialaot Sabang

Parameter salinitas perairan sekitar Prialaot berkisar antara 21,6 – 32,3 dan rata-rata secara umum sebesar 31,27 ‰ (Tabel 1). Hanya pada lokasi muara sungai (SW0) saja terlihat nilai salinitas kecil (sebesar 21,6 ‰) karena adanya masukan air tawar pada perairannya tersebut. Pengaruh sungai di sekitar perairan dapat meningkatkan variasi salinitas pada perairan pantai (Tanto, Putra and Yulianda, 2017). Dikuatkan oleh Supangat dan Susanna (Supangat and Susanna, 2005), salinitas permukaan laut dapat berkurang salah satunya dengan adanya masukan air tawar di muara sungai. Untuk wisata bahari, baku mutu air laut yang terdapat dalam KepmenLH (2004) adalah alami, dan diperbolehkan terjadi perubahan sampai <5% salinitas rata-rata musiman. Nilai salinitas perairan tersebut sudah sesuai dengan kondisi secara alami, sehingga mendukung dalam pengembangan wisata bahari ke depannya. Secara kedalaman perairan, antara permukaan laut dan kedalaman 5 m, masih terlihat nilai yang hampir sama. Namun secara umum nilai salinitas pada kedalaman 5 m lebih tinggi dibandingkan dengan permukaan air laut (Gambar 5).

Suhu perairan Prialaot berkisar antara 29 – 31,4 °C dan rata-rata sebesar 29,22 °C (Tabel 1), merupakan perairan yang hangat. Pada rentang nilai >28 °C suhu permukaan laut di daerah equator barat merupakan hamparan air yang sangat hangat (Tomczak and Godfrey, 2001). Kondisi suhu perairan tersebut dianggap sudah alami karena Indonesia secara umum merupakan wilayah tropis. Berdasarkan kedalaman perairan, secara umum kondisi alami suhu air laut pada bagian permukaan lebih tinggi dari pada kedalaman tertentu. Hal tersebut dapat terjadi karena intensitas panas matahari pada permukaan laut juga lebih tinggi dibandingkan hingga menuju kedalaman tertentu. Kondisi suhu air laut tersebut dapat terlihat pada Gambar 5, seperti titik SW0, SW1, SGD, dan SW3 yang memiliki suhu air laut lebih hangat pada permukaan perairannya. Terutama pada dekat muara yang hanya memiliki kedalaman <1 m, terlihat suhu perairan lebih hangat dibandikan dengan lokasi lainnya. Hal ini dapat terjadi karena pada perairan dangkal intensitas panas matahari lebih cepat terserap dan bertahan pada perairan tersebut. Sedangkan pada titik lainnya, suhu perairan memiliki nilai yang sama, karena perbedaan kedalaman yang tidak terlalu besar. Berdasarkan baku mutu air laut, kondisi alami dari suhu perairan merupakan syarat untuk pengembangan wisata bahari dan juga bagi kehidupan biota laut, sehingga tentunya nilai tersebut sudah sesuai dan dapat mendukung.

Gambar 5. Grafik suhu dan salinitas perairan sekitar Prialaot Sabang

Hubungan antara suhu dan salinitas secara umum dapat terlihat pada Gambar 5 tersebut, pada kondisi suhu rendah nilai salinitas juga rendah, hal ini dapat terjadi karena proses penguapan air laut akibat suhu yang tinggi menjadikan salinitas perairan menjadi tinggi juga. Hal berbeda hanya terjadi pada titik muara (SW0), dimana dengan suhu yang cukup tinggi (31,4°C) memiliki kandungan salinitas perairan yang rendah (21,6‰). Kejadian tersebut dapat terjadi (berkebalikan dari kondisi secara umum), karena pada titik pengukuran muara tersebut kedalaman perairan cukup dangkal (hanya <1 m), sehingga panas matahari yang diterima perairan hingga dasar cukup cepat terserap oleh sedimen/dasar perairan, menjadikan perairan menjadi lebih hangat dari pada kondisi suhu perairan secara umum, sedangkan masukan air tawar menjadikan saliniats perairan menjadi lebih rendah.
Untuk parameter DO (dissolved oxigen), merupakan salah satu parameter yang cukup penting terhadap kehidupan biota dalam air laut. Selain itu, juga penting terhadap wisata bahari. Nilai DO yang terukur berkisar antara 4,4 – 4,69 mg/L dan rata-rata sebesar 4,53 mg/L. Walaupun nilai DO tersebut lebih rendah dari baku mutu yang disyaratkan untuk wisata bahari dalam KepmenLH tahun 2004 (>5 mg/L), namun masih dalam kadar yang cukup baik untuk suatu perairan. Bahkan jika perairan tidak terdapat senyawa-senyawa yang bersifat toksik kandungan oksigen sebesar 2 mg/L cukup untuk mendukung kehidupan organisme perairan tersebut (Marabessy et al. (2005) dalam (Arizuna, Supropto and Muskananfola, 2014). Pada permukaan laut, nilai DO dapat dipengaruhi oleh diffusi oksigen dari udara dan juga laju fotosintesis oleh tumbuhan laut (Wisha, Tanto and Ilham, 2016). Berdasarkan kedalaman, secara umum dari keseluruhan hasil pengukuran, DO permukaan perairan lebih tinggi dari pada kedalaman 5 m. Namun pada dua titik saja (SGD dan SW5), terjadi kebalikannya. Pada lokasi tersebut, terutama lokasi SGD yang merupakan tempat keluarnya air tanah, tentunya sangat kaya oksigen akibat pengadukan dari keluaran air tanah tersebut sehingga menjadikan nilai DO pada kedalaman 5 m menjadi lebih tinggi.

Gambar 6. Grafik DO perairan sekitar Prialaot Sabang

Parameter kualitas air laut yang dilakukan pengujian pada laboratorium, secara umum hasil yang peroleh tersebut (Tabel 2) masih memiliki kondisi air laut yang menunjukkan baik. Kandungan logam berat (Zn, Pb, Cu, dan Cd) pada perairan Prialaot (sekitar kapal tenggelam), tidak terdeteksi hingga batas terkecil pembacaan alat uji. Hasil yang diperoleh adalah Zn sebesar <0,0011 mg/L, Pb <0,0012, Cu <0,004, dan Cd <0,0012. Dengan demikian, perairan Prialaot tersebut terhindar dari pencemaran logam berat dan masih dalam kondisi yang sangat baik. Sehingga untuk wisata bahari, kandungan logam berat tersebut masih jauh di bawah baku mutu air laut dalam Keputusan Menteri LH (Menteri LH, 2004). Sama halnya dengan kehidupan biota laut, berdasarkan baku mutu tersebut, masih di bawah baku mutu air laut. Hanya saja, untuk parameter Cd, memiliki nilai yang bisa sedikit melebihi baku mutu air laut, namun tidak signifikan mempengaruhi terhadap kehidupan biota.

Berbeda dari kondisi logam berat, kandungan nutrien (Fosfat dan Nitrat) perairan Prialaot cukup tinggi dan secara umum berada di atas batas baku mutu air laut, baik untuk kehidupan biota laut maupun untuk keperluan wisata bahari. Nilai fosfat berkisar antara 0,01 – 0,14 mg/L dan rata-rata 0,08 mg/L (Tabel 2). Dengan baku mutu (wisata bahari dan biota laut) sebesar 0,015 mg/L, tentunya nilai yang terkandung dalam perairan sekitar kapal tenggelam tersebut cukup tinggi. Kandungan yang tinggi dari fosfat ini dapat berasal dari keluaran air tanah (SGD) yang memiliki beberapa sumber di sekitar kawasan tersebut. Terlihat pada Gambar 7 dengan nilai fosfat dekat SGD sebesar 0,11 mg/L, namun dekat dengan posisi kapal tenggelam yang cukup jauh dari sumber tidak terlihat pengaruh signifikan dari sumber air tanah tersebut, karena kandungan fosfat pada lokasi ini sangat rendah, yaitu sebesar 0,01 mg/L (masih di bawah baku mutu). Untuk nilai kandungan nitrat perairan Prialaot lebih tinggi lagi berkisar antara 0,8 – 1,3 mg/L dan rata-rata sebesar 1,17 mg/L (Tabel 2). Baku mutu air laut untuk kandungan nitrat, terhadap kehidupan biota laut dan wisata bahari sebesar 0,008 mg/L. Seperti halnya kandungan nutrien lainnya, kemungkinan besar sumber nitrat juga berasal dari air tanah (SGD). Dengan tinggi nya kandungan nitrat, cukup menjadi perhatian. Sehingga perlu pengujian yang lebih difokuskan pada kandungan sumber air tanah (SGD) tersebut, apakah benar memiliki kandungan nutrien yang tinggi, atau sumber nutrien tersebut dapat berasal dari sumber lainnya.

Tabel 2. Data uji lab kualitas air laut sekitar perairan Prialaot - Sabang
Catatan: simbol #) merupakan batas pembacaan alat uji

Gambar 7. Grafik kandungan fosfat dan nitrat permukaan perairan Prialaot Sabang


Sangat berbeda jauh dengan kandungan nitrat dan fosfat, kandungan nitrit perairan Prialaot malah sangat kecil, berkisar antara 0,005 – 0,009 mg/L (Tabel 2) dan rata-rata sebesar 0,0075 mg/L. namun dalam KepmenLH tahun 2004, kandungan nitrit ini tidak menjadi perhatian besar dan tidak terdapat baku mutunya dalam peraturan tersebut, baik untuk kriteria pelabuhan, wisata bahari, maupun untuk kehidupan biota laut. Untuk kandungan ammonia permukaan laut perairan Prialaot (sekitar kapal tenggelam) berkisar antara 0,02 – 0,08 mg/L dan rata-rata sebesar 0,05 mg/L (Tabel 2). Nilai ammonia yang terkandung dalam perairan tersebut cukup rendah, dan dalam kondisi baik untuk kehidupan biota laut (baku mutu sebesar 0,3 mg/L) (Gambar 8), sedangkan untuk kegiatan wisata bahari baku mutu air laut untuk parameter ammonia adalah nihil, sehingga tentunya dengan hasil tersebut juga sangat mendukung kegiatan wisata bahari di perairan tersebut. Secara umum, ammonia dapat berasal dari buangan dari organisme yang hidup dalam perairan. Selain itu juga dapat berasal dari sumber air tanah (SGD) yang ada pada wilayah perairan ini, namun dengan kandungan yang masih sangat rendah.

Gambar 8. Grafik kandungan nitrit dan ammonia permukaan perairan Prialaot Sabang 


Hasil pengujian lainnya berupa BOD.5 dan pH, masih dalam kondisi baik bagi perairan. Nilai masing-masing nya adalah BOD.5 berkisar 0,6  - 1,24 mg/L dan rata-rata sebesar 0,78 mg/L, serta pH berkisar dengan nilai 7,67 – 8,31 dan rata-rata sebesar 8,13. Kandungan BOD.5 dalam perairan tersebut masih berada jauh di bawah batas baku mutu air laut (Gambar 9), baik dari wisata bahari (baku mutu sebesar 10 mg/L) apalagi terhadap kehidupan biota laut (baku mutu sebesar 20 mg/L). Secara umum, nilai BOD.5 ≤ 2,9 mg/L berarti perairan tersebut tidak tercemar. Untuk parameter pH sendiri sudah diperoleh dari pengukuran secara langsung dari alat ukur TOA, dan memiliki nilai yang tidak berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan hasil pengujian di laboratorium. Terlihat nilai pH lebih rendah dari lokasi lainnya, sebesar 7,67 yang berarti payau atau terjadi pencampuran air laut dengan air tawar, yang diduga kandungan air tawar berasal dari sumber air tanah (SGD) tersebut. Berdasarkan baku mutu (biota laut dan wisata bahari), nilai pH tersebut masih dalam rentang yang disyaratkan yaitu antara 7 – 8,5 (Menteri LH, 2004).

Gambar 9. Grafik kandungan BOD.5 permukaan perairan Prialaot Sabang

Gambar 10. Grafik pH permukaan perairan Prialaot Sabang

Secara umum, jika dibandingkan dengan pengukuran in-situ, baik dari parameter kekeruhan perairan (secara umum 0 NTU, terbesar hanya 1,5 NTU), maupun dari parameter TDS yang cukup alami (rata-rata sebesar 51,26 mg/L) karena masih berada dalam kisaran air laut yang aman untuk kehidupan biota laut. Dengan kondisi tersebut, perlu dilakukan pengujian ulang yang lebih teliti dan akurat, sehingga kesalahan dapat dihindari, baik kesalahan akibat manusia (human error) dalam melakukan pengujian dan juga dari kesalahan dalam teknik/metode pengujian laboratorium. Karena definisi paramater TSS mirip dengan parameter TS dan TDS, hanya dalam perhitungan (ukuran) dan metode ujinya yang berbeda.

Gambar 11. Grafik TSS permukaan perairan Prialaot Sabang 


KESIMPULAN DAN SARAN

Kondisi kualitas air laut sekitar kapal tenggelam Sophie Rickmers perairan Prialaot, Pulau Weh Sabang masih dalam kondisi yang baik, untuk parameter kecerahan dan kekeruhan perairan, pH, TDS, salinitas, suhu, BOD.5, nitrit, ammoniak, dan logam berat (Zn, Pb, Cu, dan Cd). Secara khusus kondisi kualitas perairan di Prialaot baik dan mendukung untuk keperluan wisata bahari dan kehidupan biota laut. Sedikit catatan untuk parameter DO, nutrien (phospat dan nitrat), dan TSS perairan. Secara analisis kualitas perairan yang diperoleh, nilai DO tidak berpengaruh secara signifikan terhadap biota laut (rata-rata sebesar 4,4 mg/L), namun masih kurang dari baku mutu (5 mg/L). Selain itu, kondisi nutrien (phospat dan nitrat) masih bernilai tinggi (rata-rata 0,08 mg/L dan 1,17 mg/L) dan berada di atas baku mutu air laut, baik untuk kegiatan wisata bahari dan kehidupan biota laut. Untuk nilai parameter TSS perairan, memiliki nilai yang cukup tinggi dengan rata-rata sebesar 21,83 mg/L. 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim Apakah Itu TDS (Total Dissolved Solids)?, https://multimeter-digital.com. Available at: https://multimeter-digital.com/apakah-itu-tds-total-dissolved-solids.html (Accessed: 18 October 2017).
Anonim (2014) TDS Dalam Air (Total Dissolved Solids), http://nanosmartfilter.com. Available at: http://nanosmartfilter.com/tds-dalam-air-total-dissolved-solids/ (Accessed: 18 October 2017).
Arizuna, M., Supropto, D. and Muskananfola, M. . (2014) ‘Kandungan Nitrat dan Fosfat dalam Air Pori Sedimen di Sungai dan Muara Sungai Wedung Demak’, Diponegoro Journal of Maquares, 3(1), pp. 7–16.
Edyanto, C. H. (2008) ‘Penelitian Aspek Lingkungan Fisisk Perairan Sekitar Pelabuhan Sabang’, Sains dan Teknologi Indonesia, 10(2), pp. 119–127.
Kurnio, H., Lubis, S. and Widi, H. C. (2015) ‘Submarine Volcano Characteristics in Sabang Waters’, 30(2), pp. 85–96.
Menteri LH (2004) Baku Mutu Air Laut.
Mutmainah, H. et al. (2016) ‘Kajian Kesesuaian Lingkungan untuk Pengembangan Wisata di Pantai Ganting, Pulau Simeulue, Provinsi Aceh’, Jurnal Depik Unsyiah, 5(1), pp. 19–30.
Sobari, M. P., Fauzi, A. and Iqbal, M. (2006) ‘Analisis Nilai Ekonomi Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh di Kota Sabang’, Mangrove dan Pesisir, VI(3), pp. 19–31.
Supangat, A. and Susanna (2005) Pengantar Oseanografi. Edited by BRKP-DKP. Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non Hayati. BRKP-DKP.
Tanto, T. Al et al. (2018) ‘Kajian Kesesuaian dan Daya Dukung Pulau Sirandah Untuk Mendukung Wisata Kepulauan di Kota Padang’, Jurnal Kelautan Nasional, 13(1), pp. 1–13. doi: http://dx.doi.org/10.15578/jkn.v12i3.6245.
Tanto, T. Al and Kusumah, G. (2016) ‘Kualitas Perairan Teluk Bungus Berdasarkan Baku Mutu Air Laut Pada Musim Berbeda’, Maspari Journal, 8(2), pp. 135–146.
Tanto, T. Al, Putra, A. and Yulianda, F. (2017) ‘Kesesuaian Ekowisata di Pulau Pasumpahan, Kota Padang’, Majalh Ilmiah Globe - BIG, 19(2), pp. 135–146. doi: 10.24895/MIG.2017.19-2.606.
Tomczak, M. and Godfrey, J. S. (2001) Regional Oceanography: An Introduction. Published. Printed and bound by Butler & Tanner Ltd, London.
Wisha, U. J., Tanto, T. Al and Ilham (2016) ‘Physical and Chemical Conditions of Bayur Bay Waters on the East and West Season’, Jurnal Ilmu Kelautan UNDIP, 22(1), pp. 15–24. doi: 10.14710/ik.ijms.22.1.15-24.
Yulianda, F. (2007) ‘Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi’, in Seminar Sains.