Tanto, Try Al, Aprizon Putra, and Fredinan Yulianda. 2017. “Kesesuaian Ekowisata Di Pulau Pasumpahan, Kota Padang.” Majalh Ilmiah Globe - BIG 19 (2): 135–46. https://doi.org/10.24895/MIG.2017.19-2.606.
KESESUAIAN EKOWISATA DI PULAU PASUMPAHAN, KOTA PADANG
Try Al Tanto1, Aprizon Putra1, dan Fredinan Yulianda2
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang 84 km dengan kewenangan perairan seluas 72.000 ha, serta tersebar sebanyak 19 pulau kecil di sekitar wilayah perairannya (Disbudpar Kota Padang, 2013). Tentunya Kota Padang memiliki potensi wisata bahari yang cukup besar melihat luasnya perairan dan banyaknya pulau-pulau kecil yang ada tersebut. Hal ini akan meningkatkan perekonomian di Kota Padang, menurut Bappenas dalam berita ANTARA Sumbar (2015), potensi pariwisata kepulauan di Indonesia bisa mencapai ribuan trilliun rupiah. Oleh karena itu pembangunan wisata bahari pada pesisir pantai,terutama pulau-pulau kecil mampu menjadi masa depan pariwisata di Indonesia. Salah satu prinsip ekowisata dari sisi ekonomi adalah pengusaha dan masyarakat harus bekerja sama dalam pengelolaan kunjungan wisata guna memaksimalkan manfaat ekonomi wisata (Tisdell, 1996 dan Wood, 2002 dalam Amir et al., 2011).
Selama dekade terakhir ini, ekowisata telah berkembang secara pesat, terutama ekowisata bahari. Sementara itu, ekowisata memiliki potensi untuk dapat memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosial, namun juga menjadi merusak jika tidak dilakukan dengan benar (Wood, 2002). Ekowisata didefinisikan sebagai perjalanan bertanggung jawab ke daerah alam yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat setempat, dan melibatkan interpretasi dan pendidikan (TIES, 2015). Ekowisata bahari merupakan ekowisata yang memanfaatkan karakter sumber daya pesisir dan laut. Sumber daya ekowisata terdiri dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata (Yulianda, 2007). Menurut Commission of the European Communities (2003) dalam Barkauskiene dan Vytautas (2013), pariwisata yang berkelanjutan adalah pariwisata yang secara ekonomis dan sosial yang layak tanpa mengurangi dari lingkungan dan budaya lokal.
Kegiatan wisata yang dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dikelompokkan menjadi wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga, menikmati pemandangan dan iklim. Sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumber daya bawah laut dan dinamika air laut (Yulianda, 2007).Pulau Pasumpahan termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bungus Teluk Kabung, terletak di bagian selatan Kota Padang. Pulau ini mulai menjadi salah satu tujuan wisata kepulauan di Kota Padang. Setelah berakhirnya Pulau Sikuai sebagai andalan wisata kepulauan di Kota Padang, pulau ini mulai dilirik banyak wisatawan, baik lokal Kota Padang, luar daerah, juga wisatawan mancanegara. Pulau Pasumpahan merupakan salah satu pulau di Kota Padang yang cukup dekat dari daratan utama, sangat mudah dijangkau, baik melalui jalan darat maupun jalan laut. Melalui transportasi darat, lokasi menuju Pulau Pasumpahan dapat ditempuh dengan melewati Kampung Sungai Pisang-Bungus, yang dilanjutkan dengan perahu nelayan untuk menyeberang (hanya beberapa menit penyeberangan). Melalui jalur laut, bisa ditempuh melalui Dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus, juga bisa melalui pesisir pantai di daerah Pasar Laban–Bungus (sekitar 30 menit perjalanan). Secara ekonomi, dengan akses yang terjangkau tersebut akan sangat diminati dan akan banyak dikunjungi oleh wisatawan, didukung oleh informasi pulau yang sudah menyebar luas. Selain akan meningkatkan pemasukan daerah, juga memperbaiki ekonomi masyarakat pesisir dekat pulau.
Informasi mengenai sumber daya pesisir yang dapat mendukung ekowisata di Pulau Pasumpahan, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat memerlukan identifikasi dan inventarisasi yang dilakukan secara ilmiah dan kontinu. Tujuan penelitian adalah menginventarisasi potensi sumber daya pesisir dan mengkaji kesesuaian kawasan dalam mendukung ekowisata Pulau Pasumpahan.
METODE
Data yang digunakan dalam pengolahan dan analisis kesesuaian ekowisata di Pulau Pasumpahan adalah data primer dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan dan juga data sekunder berupa pengukuranpengukuran sebelumnya yang sudah dilakukan pihak lain. Adapun data primer yang digunakan yaitu data pengukuran/monitoring terumbu karang (kondisi karang, percent cover, dan ikan-ikan karang), profil pantai (kemiringan, lebar, material/sedimen penyusun), vegetasi/tutupan lahan, dan kualitas air (kecerahan, pH, DO, suhu, salinitas, dan kekeruhan), serta arus permukaan. Sedangkan data sekunder hanya sebagai pelengkap, berupa data sampling karang yang sudah dilakukan pada beberapa tahun sebelumnya.
Peta-peta yang digunakan yaitu peta yang dikeluarkan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang dalam bentuk peta Kawasan Konservasi Pesisir dan PulauPulau Kecil (KKP3K) skala 1:5.000 tahun 2014, peta Taman Wisata Pulau Kecil (TWPK) skala 1:5.000 tahun 2014 dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat, dan data citra Google Earth sebagai dasar (base map) skala 1:4.500 tahun 2015, serta didukung dengan survei lapangan tahun 2015 berupa identifikasi keberadaan terumbu karang dan morfologi pantai.
Dalam penyusunan peta, perlu dilakukan pembuatan batasan, baik area untuk wisata pantai, wisata snorkeling, dan wisata selam. Area untuk wisata pantai yaitu di sekitar pesisir pantai hingga mencapai beberapa sentimeter kedalaman perairannya. Sedangkan area wisata snorkeling merupakan perairan yang memiliki batas dari garis akhir area wisata pantai hingga mencapai kedalaman 5 m. Pengambilan batasan area snorkeling berdasarkan pertimbangan bahwa area tersebut masih bisa dijangkau dengan menggunakan peralatan snorkeling saja, ditambah dengan konsultasi dengan pakar/narasumber. Sedangkan untuk area selam mengambil batasan kedalaman 5–15 m, merupakan area batas akhir area snorkeling hingga mencapai batas masih ditemukannya terumbu karang dan masih bisa dicapai untuk menikmati kondisi bawah air. Pengolahan data dilakukan pada area yang dibatasi tersebut, dengan melakukan perhitungan nilai data-data yang diukur, sehingga diperoleh nilai hasil kesesuaian ekowisata.
Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan Agustus 2015. Profil
pantai yang diambil yaitu kemiringan, lebar, serta tipe pantai, jenis
material dasar, dan penutupan
lahan pantai, yang dilakukan
secara visual/interpretasi. Semua data profil pantai ini merupakan parameter
yang digunakan dalam perhitungan kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori
rekreasi.
Data kualitas air laut diambil dengan menggunakan alat Hand-held Water Quality Meter WQC-24 Standard, menghasilkan data
berupa suhu, salinitas, pH, DO, dan turbiditas (kekeruhan). Parameter kualitas
perairan ini merupakan parameter umum yang biasa dipakai dan juga pendukung
utama dalam pengembangan ekowisata di Pulau Pasumpahan. Selain data tersebut,
juga diambil parameter kecerahan perairan dengan menggunakan alat secchi disk dan arus permukaan dengan
alat floating drouge, yang berguna
dalam perhitungan kesesuaian ekowisata.
Ekosistem terumbu karang diamati dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect). Data
pengukuran lapangan ekosistem terumbu karang dilakukan pada 2 titik lokasi,
yaitu bagian barat dan bagian selatan pulau. Sedangkan bagian sisi lain dari pulau diperoleh data pengukuran
sebelumnya yang sudah dilakukan pada tahun 2012 dan 2014 oleh Dinas KP Provinsi
Sumatera Barat. Pengukuran ekosistem terumbu karang juga disertai pengamatan
ikan-ikan karang, sedangkan ekosistem pantai lainnya seperti mangrove dan lamun
tidak dilakukan pengamatan.
Pengambilan titik-titik sampling pengamatan dilakukan untuk mewakili secara
keseluruhan kondisi dari pulau. Hanya titik sampling karang saja yang
menyesuaikan dengan titik pengamatan yang sebelumnya sudah ada. Titik-titik lokasi pengukuran dan pengamatan yang
dilakukan di Pulau Pasumpahan disajikan pada Gambar 1.
Pengembangan ekowisata bahari di Pulau Pasumpahan, perlu memperhatikan
potensi yang ada dan mengkaji kesesuaian ekosiwata bahari tersebut. Ekowisata
bahari yang berpotensi dikembangkan di antaranya rekreasi pantai dan laut, wisata selam, dan wisata snorkeling.
Wisata pantai terdiri dari dua kategori yaitu kategori rekreasi dan wisata
mangrove. Kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi mempertimbangkan dan
menggunakan 10 parameter dengan empat klasifikasi penilaian.
Gambar 1. Peta Pulau Pasumpahan dan Titik
Lokasi Pengukuran.
Tabel 1. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Pantai
Kategori Rekreasi.
Sumber:
Yulianda (2007)
Keterangan:
Nilai maksimum = 84
S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 75-100%
S2 = Cukup Sesuai, dengan nilai 50-<75%
S3 = Sesuai bersyarat, nilai 25-<50 %
N = Tidak sesuai, dengan nilai <25%
Nilai
maksimum = 54
S1 =
Sangat sesuai, dengan nilai 75-100%
S2 =
Cukup Sesuai, dengan nilai 50-<75%
S3 =
Sesuai bersyarat, nilai 25-<50 %
N = Tidak sesuai, dengan nilai <25%
Wisata bahari terdiri
dari tiga kategori yaitunya wisata selam, wisata snorkeling, dan wisata
lamun. Dalam hal ini hanya dilakukan kajian pada dua kategori, wisata selam dan
wisata snorkeling.
Secara umum, untuk
wisata selam sangat berkaitan erat dengan keberadaan ekosistem terumbu karang
sebagai objek penyelaman (Lynch et al., 2004
dalam Johan dkk., 2011). Kesesuaian wisata bahari untuk kategori selam memperhitungkan 6
parameter, seperti kecerahan perairan, tutupan koumintas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan
arus, dan kedalaman terumbu karang. Matriks kesesuaian lahan untuk wisata selam
disajikan pada Tabel 2, sedangkan
untuk wisata snorkeling, matriks
kesesuaian lahannya seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Nilai
maksimum = 57
S1 =
Sangat sesuai, dengan nilai 75-100%
S2 =
Cukup Sesuai, dengan nilai 50-<75%
S3 =
Sesuai bersyarat, nilai 25-<50%
N = Tidak sesuai, dengan nilai <25%
Rumus
yang digunakan untuk kesesuaian wisata adalah:
IKW = ∑ [ Ni/Nmaks] x 100 %
Keterangan:
IKW = Indeks Kesesuaian Wisata
Ni = Nilai parameter ke-i (Bobot x
Skor)
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori
wisata
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pesisir pantai di
sekitar Pulau Pasumpahan memiliki kemiringan berkisar antara 4,1-8,95°.
Menurut Natural Resources Conservation
Service Soils USDA, kriteria kemiringan lahan yang landai memiliki rentang
nilai sebesar 1-8%, sehingga pesisir pantai di Pulau Pasumpahan dapat dikategorikan
termasuk landai. Pernyataan Pethick dalam Cahyanto dkk. (2014) bahwa kelerengan
pantai normal antara 0,01 (0,5°) hingga 0,2 (11°) yang termasuk pantai landai,
dan ≥ 0,5 (26°) yang termasuk pada pantai curam. Namun pada beberapa bagian
pulau, terutama arah barat laut pulau (antara titik pengamatan profil pantai 10
dan 13) yang disajikan pada Gambar 1
terdapat cliff (tebing), serta bagian
kecil lainnya terdapat karang (tidak ada pesisir pantai), yaitu sebelah utara
pulau (antara titik 1 dan 11) dan bagian timur (titik 3 dan 4). Tipe sedimen pantai umumnya berpasir putih,
pada beberapa lokasi juga terdapat pecahan karang di pantai. Sedangkan sedimen
dasar perairannya berupa karang berpasir.
Lebar pantai di
Pulau Pasumpahan berkisar antara 7,5-17,2 m, cukup mendukung
dalam pengembangan wisata rekreasi pantai. Terutama pesisir pantai bagian
tenggara pulau dengan lebar hingga mencapai 17,2 m, sangat sesuai dan mendukung
ekowisata di pualu ini. Selain itu, pada bagian tenggara pulau ini juga
terlihat luasnya lahan terbuka yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas di
pulau. Vegetasi utama di pulau ini yaitu pohon kelapa, juga
terdapat pohon ketapang, lampari, pandan laut, serta semak belukar dan hutan. Untuk vegetasi yang ada pada perairannya yaitu mangrove, lamun, dan alga (ganggang).
Secara umum,
kondisi perairan sekitar Pulau Pasumpahan masih dalam kondisi baik dan cukup
jauh dari pengaruh aktivitas di darat. Berikut hasil pengukuran beberapa
parameter kualitas air laut, serta hasil pengukuran arus permukaan disajikan
pada Tabel 4.
Suhu perairan di
Pulau Pasumpahan berkisar antara 30-30,6°C. Nilai ini sangat
wajar, karena pada umumnya kisaran suhu permukaan laut pada daerah perairan Indonesia
cukup lebar, yaitunya 26-31,5°C (Syaifullah, 2015). Nontji (2005) dalam BSN (2010), juga menyebutkan
bahwa pada perairan Indonesia, suhu permukaan berkisar antara 28-31°C.
Menurut Tomczak dan Godfrey (2001), suhu permukaan laut di daerah equator barat
merupakan hamparan air yang sangat hangat, dapat berkisar di atas 28°C. Bahkan
suhu tertinggi yang ditemui antara timur New Guinea dan khatulistiwa di mana
rata-rata tahunan di atas 29,5°C. Pertumbuhan dan kehidupan biota air sangat
dipengaruhi suhu air. Suhu optimal bagi kehidupan ikan di perairan tropis
berkisar antara 28-32°C (Kordi
dan Tancung, 2007). Untuk pertumbuhan plankton, suhu air
laut di sekitar Pulau Pasumpahan tersebut sudah sangat baik karena suhu air
laut optimum untuk pertumbuhan di laut tropis adalah antara 25-32°C
(Hartoko, 2013). Terkait dengan ketahanan hidup ekosistem terumbu karang dan
lamun, baku mutu suhu air laut berkisar antara 28°C - 30°C, sedangkan pada
mangrove kisaran suhu lebih lebar yaitunya antara 28-32°C
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Berhubungan dengan wisata bahari, dalam
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 2004 tersebut juga tercantum baku mutu suhu
secara alami yang menyatakan kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap
saat. Selain itu diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC
dari suhu alami tersebut, sehingga dapat dikatakan suhu di sekitar perairan
Pulau Pasumpahan masih tergolong baik.
Nilai salinitas di
perairan Pulau Pasumpahan adalah 32,5-33,9 ‰ dengan rata-rata
sebesar 33,4 ‰ disajikan pada Tabel 4.
Terlihat dari hasil tersebut, bahwa nilai salinitas perairan tidak begitu
bervariasi, sebagai akibat sangat kurangnya pengaruh sungai di sekitar perairan
yang dapat meningkatkan variasi salinitas perairan pantai. Menurut Supangat dan Susanna (2005),
salinitas permukaan laut berkurang akibat air tawar di muara sungai-sungai besar dan akibat lelehan es dan salju di lintang tinggi.
Sebaliknya, salinitas permukaan cenderung tinggi di laguna dan cekungan laut
dangkal tertutup lainnya di lintang rendah dimana terjadi penguapan tinggi dan
terbatasnya aliran air yang masuk dari daratan. Baku mutu salinitas air laut untuk
biota laut, pada kelangsungan hidup terumbu karang dan lamun adalah 33-34 ‰,
sedangkan pada mangrove dengan nilai sampai dengan
34 ‰ (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Untuk wisata bahari, nilai salinitas
secara alami dan diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas
rata-rata musiman. Artinya salinitas perairan sekitar Pulau Pasumpahan masih
tergolong baik dan aman, sehingga mendukung kehidupan biota laut dan ekowisata
di sekitar pulau.
Nilai pH air laut
yang terukur pada perairan sekitar Pulau Pasumpahan adalah 8,93-9,05
dengan rata-rata sebesar 9,00 disajikan pada Tabel 4. Nilai ini cukup tinggi, karena baku mutu pH untuk wisata
bahari sebesar 7-8,5 dengan perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH. Melihat masih
alaminya pulau dan perairan sekitarnya, perlu diteliti lagi hasil pengukuran
yang diperoleh, berupa kalibrasi untuk validitas alat ukur dan kondisi
lainnya di sekitar parairan.
Nilai DO perairan
Pulau Pasumpahan berkisar 7,15-9,46 mg/L dengan rata-rata sebesar
8,42 mg/L tersaji pada Tabel 4.
Nilai tersebut sangat bagus, baik untuk kehidupan biota laut maupun
pengembangan wisata bahari di sekitar pulau. Baku mutu DO untuk kehidupan biota
laut dan juga wisata bahari memiliki nilai yang sama, yaitu sebesar >5mg/L.
Untuk nilai kekeruhan (turbiditas) perairan Pulau Pasumpahan tidak terjadi
permasalahan sama sekali, karena tidak terdeteksi kekeruhan di sekitar
perairannya (kekeruhan hanya 0 NTU) tersaji pada Tabel 4. Menurut Sutika
(1989) dalam Armita (2011), kekeruhan dapat mempengaruhi gangguan terhadap
proses respirasi, menurunkan kadar oksigen dalam air, dan terjadi gangguan
terhadap habitat. Namun tidak terjadi masalah yang berarti terhadap habitat di
sekitar Pulau Pasumpahan. Sedangkan nilai kecerahan yang terukur bervariasi, berkisar antara >4,5-10,37 m disajikan pada Tabel 4. Nilai >4,5 m tersebut terukur dengan kondisi bahwa kedalaman perairan lokasi pengukuran hanya sampai kedalaman 4,5 m, sehingga tidak memungkinkan alat ukur dalam pengukuran. Nilai kecerahan ini cukup mendukung dalam pengembangan wisata bahari, karena termasuk dalam kategori S1 (sangat sesuai) dan S2 (cukup sesuai).
Untuk kondisi arus di perairan Pulau Pasumpahan cukup kecil, berkisar antara 5,86-16,85 cm/dt, mendukung dalam pengembangan wisata bahari, termasuk dalam kategori S1 (sangat sesuai) dan S2 (cukup sesuai).
Tabel 4. Hasil Pengukuran Kualitas Perairan sekitar Pulau Pasumpahan.
Sumber: Pengolahan data (2015).
Ekosistem Terumbu Karang
Tutupan Karang
Lokasi pengukuran karang bagian barat laut pulau (1°7'1,60"LS dan
100°21'51,70"BT) terdapat di depan dinding batu cadas. Kemiringan dasar
perairan di tubir sampai kedalaman 10 m sekitar 50° dengan substrat dasar keras dan patahan karang mati. Pada kedalaman 10-25 m,
kemiringan sekitar 85° banyak ditumbuhi gorgonian
dan softcoral dengan bentuk yang
bagus. Pada kedalaman lebih dari 25 m kemiringan sekitar 45° dengan substrat
pasir dan patahan karang mati, ditemukan Achantaster
placi. Percent cover karang keras
hidup 7,70% yang terdiri dari 1,8% acropora
dan 5,90% non-acropora. Spesies
karang yang ditemukan pada lokasi ini yaitu Acropora sp, Montipora sp, Fungia sp, Sponge sp, Pocillopora sp, dan Astreopora sp, dengan
dominasi
dari karang jenis Montipora sp.
Namun, walaupun tutupan karang keras hidup cukup rendah, namun kondisi softcoral yang cukup baik dan indah
menjadikan lokasi ini sangat potensial sebagai lokasi penyelaman dan dapat dikembangkan menjadi lebih baik.
Pengukuran karang bagian selatan pulau
(1°7'15,00"LS dan 100°22'6,20"BT), memiliki kemiringan dasar perairan
sekitar 45° dengan substrat dasar keras, patahan karang mati, pasir, dan lumpur. Dominasi oleh karang jenis porites yang bisa ditemukan sampai
kedalaman 8 m. Karang hidup masih ditemukan sampai kedalaman 22 m. Percent Cover karang keras hidup 43,33%
yang terdiri dari 3,23% acropora dan
40,10% non-acropora. Spesies karang
yang ditemukan pada lokasi ini yaitu Montipora sp, Porites sp, Acropora sp, Pectinia sp, Coeloseris mayeri, dan Favia
sp.
Ikan Karang
Pengamatan ikan karang dilakukan secara visual di sekitar area pengukuran
karang. Jenis ikan yang diamati dibagi menjadi 3, yaitu ikan indikator, ikan
target, dan ikan mayor.
1. Ikan Indikator
Hasil pengamatan menunjukkan spesies ikan indikator yang ditemukan pada perairan Pulau Pasumpahan yaitu Chaetodon bennetti, Chaetodon collare, Chaetodon kleinii, Chaetodon lunula, Chaetodon oxycephalus,
Chaetodon rafflesii, Chaetodon triangulum, Chaetodon
trifasciatus, Chaetodon vagabundus,
Heniochus acuminatus, Heniochus pleurotaenia, dan Heniochus singularis. Spesies ikan
indikator yang banyak dijumpai adalah pada stasiun 1 (bagian barat laut), yaitu
sebanyak 9 spesies, namun hanya 15 individu yang terindentifikasi. Sedangkan
lokasi pengamatan sebelah selatan pulau hanya teramati 5 spesies dengan 22
individu yang terindentifikasi.
Keragaman ikan indikator pada lokasi sebelah barat lebih
tinggi dibandingkan dengan sebelah selatan yaitu sebesar 2,06, artinya ikan
indikator di bagian barat cukup banyak dan bervariasi. Sedangkan keragaman ikan
indikator pada bagian selatan pulau sebesar 1,40. Hasil pengamatan ikan
indikator di dua lokasi Pulau Pasumpahan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Ikan Indikator di
Pulau Pasumpahan.
2. Ikan Target
Kelompok ikan target rata-rata didominasi oleh famili Acanthuridae dan Caesionidae. Keberadaan ikan target pada terumbu karang tidak hanya tergantung pada kondisi tutupan karang hidupnya, namun sangat ditentukan oleh kondisi struktur terumbu tersebut baik sebagai tempat berlindung maupun sebagai tempat bersembunyi dari predator lain. Rata-rata pada kondisi struktur terumbu karangnya bagus akan banyak dijumpai kelompok ikan target. Pada lokasi pengamatan, kelimpahan ikan target paling tinggi dijumpai pada bagian barat laut perairan Pulau Pasumpahan disajikan pada Tabel 6.
Untuk keragaman jenis ikan target pada bagian selatan pulau yaitu sebesar 2,26, lebih tinggi daripada bagian barat lautnya sebesar 1,89.
Tabel 6. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Ikan Target di Pulau Pasumpahan.
Sumber: Pengolahan data (2015).
Kelompok ikan mayor
merupakan jenis-jenis ikan yang tidak dikonsumsi dan rata-rata berukuran kecil,
beberapa jenisnya termasuk ke dalam jenis ikan hias dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Rata-rata kelompok ikan target ini
hampir tiap lokasi didominasi oleh famili Pomacentridae.3.
Ikan Mayor
Keragaman jenis
ikan mayor pada bagian barat laut pulau sebesar 1,12, lebih tinggi dibandingkan
dengan keragaman pada selatan pulau sebesar 0,61 disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Ikan Mayor di Pulau Pasumpahan.
Sumber: Pengolahan data (2015).
Kesesuaian
Ekowisata
Pada umumnya,
ekowisata bahari sangat cocok untuk dikembangkan di daerah pulau-pulau kecil,
begitupun dengan Pulau Pasumpahan. Pesisir pantai pulau ini cukup luas dan
berpasir putih, pemandangan alamnya bagus, serta terdapat ekosistem terumbu
karang yang cukup baik akan menjadi daya tarik pulau untuk dikunjungi
wisatawan.
Pesisir pantai
Pulau Pasumpahan sangat sesuai untuk dijadikan sebagai lokasi wisata pantai
kategori rekreasi. Sepanjang pantai pulau ini, dari seluruh hasil pengukuran
dan analisis, 88,89% di antaranya menunjukkan nilai yang
sangat sesuai,
hal ini disajikan pada Gambar
2. Hanya 11,11% saja dari pesisir pantai pulau ini yang menunjukkan
kategori sesuai bersyarat (mendekati tidak sesuai), karena banyaknya sampah dan
perairan yang keruh. Namun sebagian besar lainnya terdiri dari tebing (cliff), yaitu bagian utara dan barat
laut pulau tentunya tidak dapat digunakan sebagai lokasi untuk wisata pantai. Hasil
pemetaan kesesuaian lahan di Pulau Pasumpahan sebagai wisata pantai/rekreasi
disajikan pada Gambar 2, dan hasil
perhitungan area wisata snorkeling pada
Tabel 8.
Ekowisata bahari
untuk kategori snorkeling di Pulau
Pasumpahan cukup sesuai untuk dikembangkan menjadi lebih baik disajikan pada Gambar 3. Batasan kedalaman perairan
yang digunakan sebagai lokasi wisata snorkeling
adalah sekitar 5 m, yang masih dapat dilakukan aktivitas berupa tuckdive dan melihat pemandangan bawah
air berupa hamparan karang, ikan-ikan karang dan ditambah dengan adanya beberapa
vegetasi bawah air dan biota laut lainnya.
Lokasi bagian timur
dan barat laut-utara pulau sangat sesuai dijadikan sebagai tempat snorkeling disajikan pada Gambar 3, selain kondisi dan tutupan
karang
yang cukup baik, wilayah perairan ini juga cukup luas
untuk aktivitas snorkeling. Bahkan
pada lokasi bagian barat laut-utara pulau yang merupakan pantai terpisah
direncanakan sebagai lokasi tertutup khusus untuk wisatawan mancanegara yang menginginkan ketenangan. Namun, kawasan pasir juga cukup luas pada
perairannya, terutama bagian barat daya menjadikan lahan wilayah ini tidak
sesuai. Hasil luasan area untuk wisata snorkeling
dapat terlihat dari Tabel 9.
Ekowisata bahari kategori selam
memiliki kesesuaian lahan cukup beragam. Peta kesesuaian lahan untuk ekowisata
bahari kategori selam disajikan pada Gambar
4, dan hasil luasannya pada Tabel 10.
Tabel 9. Luas
Kesesuaian Zona Kawasan Snorkeling di
Pulau Pasumpahan.
Sumber: Pengolahan data (2015).
Gambar 4.
Peta Kesesuaian Lahan untuk Ekowisata
Bahari Kategori Selam di Pulau Pasumpahan.
Seperti halnya kesesuaian lahan untuk snorkeling,
wilayah bagian timur dan barat laut-utara merupakan kawasan yang sangat sesuai sebagai
tempat penyelaman disajikan pada Gambar
4. Lokasi tersebut memiliki kondisi karang yang baik, ditambah lagi kondisi
softcoral yang sangat cantik
menjadikan bagian barat laut pulau direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi
lebih baik lagi.
KESIMPULAN
Ekowisata bahari cukup potensial dikembangkan di Pulau Pasumpahan, di antaranya wisata pantai (rekreasi), wisata selam, dan wisata snorkeling. Indeks kesesuaian tertinggi terdapat pada potensi
wisata pantai (rekreasi) yaitu sebesar 79,91% (sangat sesuai). Daerah pesisir
pantai yang ada di pulau, hanya satu titik menunjukkan sesuai bersyarat karena
banyak sampah bertebaran di pantai dan perairan keruh.
Nilai kesesuaian wisata snorkeling
sebesar 51-68,13% (cukup
sesuai) dan kesesuaian wisata selam sebesar 50-68,83% (cukup sesuai). Satu titik di sekitar pengukuran sebelah barat laut,
sangat berpotensi dikembangkan untuk wisata selam menjadi lebih baik dengan
kondisi soft coral yang sangat indah
berada pada kedalaman sekitar 6 m.
Wisata snorkling pada lokasi
barat laut tersebut tidak cocok dikembangkan, namun berpotensi untuk
dikembangkan di sepanjang pulau yang memiliki pantai, melihat cukup lebar dan
luasnya hamparan karang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami
ucapkan kepada Kepala LRSDKP Bungus - BRSDM KKP sekaligus selaku Ketua Kelompok
Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir LRSDKP, atas dukungannya dalam
pelaksanaan kegiatan ini. Terima kasih juga kepada teman-teman peneliti, asisten peneliti, teknisi, dan
administrasi LRSDKP yang membantu terlaksananya seluruh kegiatan penelitian
sampai selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, S., F. Yulianda, D.G. Bengen, dan M. Boer. (2011). Optimalisasi Pemanfaatan Wisata
Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili
Indah Kabupaten Lombok Utara Propinsi NTB). Jurnal Agrisains. Vol. 12 (3). 8
hlm.
ANTARA Sumbar. (2015). Bappenas: Potensi Pariwisata Kepulauan
Rp. 4000 Triliun.
http://www.antarasumbar.com/berita/pariwisata/j/9/384138/bappenas-potensi-pariwisata-kepulauan-rp4-000-triliun.html.
[30 Januari 2015].
Armita,
D. (2011). Analisis Perbandingan Kualitas Air di Daerah Budidaya Rumput Laut
dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut, Dusun Malelaya, Kabupaten
Takalar. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Jurusan Perikanan.
Univiversitas Hasanuddin Makasar.
Barkauskiene,
K. dan V. Snieska. (2013). Ecotourism As An Integral Part of Sustainable Tourism
Development. Economics and Management
Journal. Vol. 18 (3).
BSN
[Badan Standardisasi Nasional]. (2010). Basis data spasial oseanografi: suhu
salinitas, oksigen terlarut, derajat keasaman, turbiditas, dan kecerahan.
Rancangan Standar Nasional Indonesia 3. 7644: 2010. 17 hlm.
Cahyanto,
N. Priyo., H. Setiyono, E. Indrayanti. (2014). Studi
Profil Pantai di Pulau Parang Kepulauan Karimunjawa Jepara. Jurnal Oseanografi UNDIP. Vol. 3 (2).
Disbudpar
Kota Padang. (2013). Profil Pariwisata Kota Padang.
Hartoko,
A. (2013). Oseanographic Characteristers
and Plankton Resources of Indonesia. Penerbit: Graha Ilmu. Cetakan pertama.
Hal 5. Yogyakarta.
Johan,
Y., F. Yulianda, V.P. Siregar, dan I. Karlina. (2011). Pengembangan Wisata Bahari
dalam Pengelolaan Sumber daya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Kesesuaian dan Daya
Dukung – Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung. Seminar Nasional
“Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Dari Aspek Perikanan Kelautan dan Perikanan”.
Institut Pertanian Bogor. Prosiding. 11 hlm.
Kementerian
Lingkungan Hidup. (2004). Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari dan Biota
Laut, Jakarta.
Kordi,
M.G.H.K. dan A. B. Tancung. (2007). Pengelolaan Kualitas Air dalam Budi Daya
Perairan. Penerbit: Rineka Cipta. Cetakan pertama. Hal 58. Jakarta.
Natural
Resources Conservation Service Soils - United States Department of Agriculture.
https://www.nrcs.usda.gov/wps/portal/nrcs/detail/soils/ref/?cid=nrcs142p2_054253. [16 Februari 2017].
Supangat,
A. dan Susanna. 2005. Pengantar
Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber daya Non-Hayati, BRKP-DKP.
Syaifullah,
M. D. (2015). Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia dan Hubungannya dengan
Pemanasan Global. Jurnal Segara. Vol. 11 (2). syHal 103-113.
TIES
(The International Ecotourism Society). (2015). What is Ecotourism?.
https://www.ecotourism.org/what-is-ecotourism. [5 Oktober 2015].
Tomczak,
M. dan J.S. Godfrey. (2001). Regional
Oceanography: An Introduction. Published online – pdf version.
Wood, M.E. (2002). Ecotourism: Principles, Practices
& Policies For Sustainability. United Nations Environment Programme - The
International Ecotourism Society. First edition.
Yulianda,
F. (2007). Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumber daya Pesisir
Berbasis Konservasi. Seminar Sain Departemen MSP, FPIK IPB. Bogor.
Data kualitas air laut diambil dengan menggunakan alat Hand-held Water Quality Meter WQC-24 Standard, menghasilkan data
berupa suhu, salinitas, pH, DO, dan turbiditas (kekeruhan). Parameter kualitas
perairan ini merupakan parameter umum yang biasa dipakai dan juga pendukung
utama dalam pengembangan ekowisata di Pulau Pasumpahan. Selain data tersebut,
juga diambil parameter kecerahan perairan dengan menggunakan alat secchi disk dan arus permukaan dengan
alat floating drouge, yang berguna
dalam perhitungan kesesuaian ekowisata.
Ekosistem terumbu karang diamati dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect). Data
pengukuran lapangan ekosistem terumbu karang dilakukan pada 2 titik lokasi,
yaitu bagian barat dan bagian selatan pulau. Sedangkan bagian sisi lain dari pulau diperoleh data pengukuran
sebelumnya yang sudah dilakukan pada tahun 2012 dan 2014 oleh Dinas KP Provinsi
Sumatera Barat. Pengukuran ekosistem terumbu karang juga disertai pengamatan
ikan-ikan karang, sedangkan ekosistem pantai lainnya seperti mangrove dan lamun
tidak dilakukan pengamatan.
Pengambilan titik-titik sampling pengamatan dilakukan untuk mewakili secara
keseluruhan kondisi dari pulau. Hanya titik sampling karang saja yang
menyesuaikan dengan titik pengamatan yang sebelumnya sudah ada. Titik-titik lokasi pengukuran dan pengamatan yang
dilakukan di Pulau Pasumpahan disajikan pada Gambar 1.
Pengembangan ekowisata bahari di Pulau Pasumpahan, perlu memperhatikan
potensi yang ada dan mengkaji kesesuaian ekosiwata bahari tersebut. Ekowisata
bahari yang berpotensi dikembangkan di antaranya rekreasi pantai dan laut, wisata selam, dan wisata snorkeling.
Wisata pantai terdiri dari dua kategori yaitu kategori rekreasi dan wisata
mangrove. Kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi mempertimbangkan dan
menggunakan 10 parameter dengan empat klasifikasi penilaian.
Gambar 1. Peta Pulau Pasumpahan dan Titik Lokasi Pengukuran.
Tabel 1. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Pantai Kategori Rekreasi.
Sumber: Yulianda (2007)
Keterangan:
Nilai maksimum = 84
S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 75-100%
S2 = Cukup Sesuai, dengan nilai 50-<75%
S3 = Sesuai bersyarat, nilai 25-<50 %
N = Tidak sesuai, dengan nilai <25%
Nilai
maksimum = 54
S1 =
Sangat sesuai, dengan nilai 75-100%
S2 =
Cukup Sesuai, dengan nilai 50-<75%
S3 =
Sesuai bersyarat, nilai 25-<50 %
N = Tidak sesuai, dengan nilai <25%
Wisata bahari terdiri
dari tiga kategori yaitunya wisata selam, wisata snorkeling, dan wisata
lamun. Dalam hal ini hanya dilakukan kajian pada dua kategori, wisata selam dan
wisata snorkeling.
Secara umum, untuk
wisata selam sangat berkaitan erat dengan keberadaan ekosistem terumbu karang
sebagai objek penyelaman (Lynch et al., 2004
dalam Johan dkk., 2011). Kesesuaian wisata bahari untuk kategori selam memperhitungkan 6
parameter, seperti kecerahan perairan, tutupan koumintas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan
arus, dan kedalaman terumbu karang. Matriks kesesuaian lahan untuk wisata selam
disajikan pada Tabel 2, sedangkan
untuk wisata snorkeling, matriks
kesesuaian lahannya seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Nilai
maksimum = 57
S1 =
Sangat sesuai, dengan nilai 75-100%
S2 =
Cukup Sesuai, dengan nilai 50-<75%
S3 =
Sesuai bersyarat, nilai 25-<50%
N = Tidak sesuai, dengan nilai <25%
Rumus
yang digunakan untuk kesesuaian wisata adalah:
IKW = ∑ [ Ni/Nmaks] x 100 %
Keterangan:
IKW = Indeks Kesesuaian Wisata
Ni = Nilai parameter ke-i (Bobot x
Skor)
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori
wisata
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pesisir pantai di
sekitar Pulau Pasumpahan memiliki kemiringan berkisar antara 4,1-8,95°.
Menurut Natural Resources Conservation
Service Soils USDA, kriteria kemiringan lahan yang landai memiliki rentang
nilai sebesar 1-8%, sehingga pesisir pantai di Pulau Pasumpahan dapat dikategorikan
termasuk landai. Pernyataan Pethick dalam Cahyanto dkk. (2014) bahwa kelerengan
pantai normal antara 0,01 (0,5°) hingga 0,2 (11°) yang termasuk pantai landai,
dan ≥ 0,5 (26°) yang termasuk pada pantai curam. Namun pada beberapa bagian
pulau, terutama arah barat laut pulau (antara titik pengamatan profil pantai 10
dan 13) yang disajikan pada Gambar 1
terdapat cliff (tebing), serta bagian
kecil lainnya terdapat karang (tidak ada pesisir pantai), yaitu sebelah utara
pulau (antara titik 1 dan 11) dan bagian timur (titik 3 dan 4). Tipe sedimen pantai umumnya berpasir putih,
pada beberapa lokasi juga terdapat pecahan karang di pantai. Sedangkan sedimen
dasar perairannya berupa karang berpasir.
Lebar pantai di
Pulau Pasumpahan berkisar antara 7,5-17,2 m, cukup mendukung
dalam pengembangan wisata rekreasi pantai. Terutama pesisir pantai bagian
tenggara pulau dengan lebar hingga mencapai 17,2 m, sangat sesuai dan mendukung
ekowisata di pualu ini. Selain itu, pada bagian tenggara pulau ini juga
terlihat luasnya lahan terbuka yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas di
pulau. Vegetasi utama di pulau ini yaitu pohon kelapa, juga
terdapat pohon ketapang, lampari, pandan laut, serta semak belukar dan hutan. Untuk vegetasi yang ada pada perairannya yaitu mangrove, lamun, dan alga (ganggang).
Secara umum,
kondisi perairan sekitar Pulau Pasumpahan masih dalam kondisi baik dan cukup
jauh dari pengaruh aktivitas di darat. Berikut hasil pengukuran beberapa
parameter kualitas air laut, serta hasil pengukuran arus permukaan disajikan
pada Tabel 4.
Suhu perairan di Pulau Pasumpahan berkisar antara 30-30,6°C. Nilai ini sangat wajar, karena pada umumnya kisaran suhu permukaan laut pada daerah perairan Indonesia cukup lebar, yaitunya 26-31,5°C (Syaifullah, 2015). Nontji (2005) dalam BSN (2010), juga menyebutkan bahwa pada perairan Indonesia, suhu permukaan berkisar antara 28-31°C. Menurut Tomczak dan Godfrey (2001), suhu permukaan laut di daerah equator barat merupakan hamparan air yang sangat hangat, dapat berkisar di atas 28°C. Bahkan suhu tertinggi yang ditemui antara timur New Guinea dan khatulistiwa di mana rata-rata tahunan di atas 29,5°C. Pertumbuhan dan kehidupan biota air sangat dipengaruhi suhu air. Suhu optimal bagi kehidupan ikan di perairan tropis berkisar antara 28-32°C (Kordi dan Tancung, 2007). Untuk pertumbuhan plankton, suhu air laut di sekitar Pulau Pasumpahan tersebut sudah sangat baik karena suhu air laut optimum untuk pertumbuhan di laut tropis adalah antara 25-32°C (Hartoko, 2013). Terkait dengan ketahanan hidup ekosistem terumbu karang dan lamun, baku mutu suhu air laut berkisar antara 28°C - 30°C, sedangkan pada mangrove kisaran suhu lebih lebar yaitunya antara 28-32°C (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Berhubungan dengan wisata bahari, dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 2004 tersebut juga tercantum baku mutu suhu secara alami yang menyatakan kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat. Selain itu diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami tersebut, sehingga dapat dikatakan suhu di sekitar perairan Pulau Pasumpahan masih tergolong baik.
Nilai salinitas di perairan Pulau Pasumpahan adalah 32,5-33,9 ‰ dengan rata-rata sebesar 33,4 ‰ disajikan pada Tabel 4. Terlihat dari hasil tersebut, bahwa nilai salinitas perairan tidak begitu bervariasi, sebagai akibat sangat kurangnya pengaruh sungai di sekitar perairan yang dapat meningkatkan variasi salinitas perairan pantai. Menurut Supangat dan Susanna (2005), salinitas permukaan laut berkurang akibat air tawar di muara sungai-sungai besar dan akibat lelehan es dan salju di lintang tinggi. Sebaliknya, salinitas permukaan cenderung tinggi di laguna dan cekungan laut dangkal tertutup lainnya di lintang rendah dimana terjadi penguapan tinggi dan terbatasnya aliran air yang masuk dari daratan. Baku mutu salinitas air laut untuk biota laut, pada kelangsungan hidup terumbu karang dan lamun adalah 33-34 ‰, sedangkan pada mangrove dengan nilai sampai dengan 34 ‰ (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Untuk wisata bahari, nilai salinitas secara alami dan diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman. Artinya salinitas perairan sekitar Pulau Pasumpahan masih tergolong baik dan aman, sehingga mendukung kehidupan biota laut dan ekowisata di sekitar pulau.
Nilai pH air laut
yang terukur pada perairan sekitar Pulau Pasumpahan adalah 8,93-9,05
dengan rata-rata sebesar 9,00 disajikan pada Tabel 4. Nilai ini cukup tinggi, karena baku mutu pH untuk wisata
bahari sebesar 7-8,5 dengan perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH. Melihat masih
alaminya pulau dan perairan sekitarnya, perlu diteliti lagi hasil pengukuran
yang diperoleh, berupa kalibrasi untuk validitas alat ukur dan kondisi
lainnya di sekitar parairan.
Nilai DO perairan Pulau Pasumpahan berkisar 7,15-9,46 mg/L dengan rata-rata sebesar 8,42 mg/L tersaji pada Tabel 4. Nilai tersebut sangat bagus, baik untuk kehidupan biota laut maupun pengembangan wisata bahari di sekitar pulau. Baku mutu DO untuk kehidupan biota laut dan juga wisata bahari memiliki nilai yang sama, yaitu sebesar >5mg/L. Untuk nilai kekeruhan (turbiditas) perairan Pulau Pasumpahan tidak terjadi permasalahan sama sekali, karena tidak terdeteksi kekeruhan di sekitar perairannya (kekeruhan hanya 0 NTU) tersaji pada Tabel 4. Menurut Sutika (1989) dalam Armita (2011), kekeruhan dapat mempengaruhi gangguan terhadap proses respirasi, menurunkan kadar oksigen dalam air, dan terjadi gangguan terhadap habitat. Namun tidak terjadi masalah yang berarti terhadap habitat di sekitar Pulau Pasumpahan. Sedangkan nilai kecerahan yang terukur bervariasi, berkisar antara >4,5-10,37 m disajikan pada Tabel 4. Nilai >4,5 m tersebut terukur dengan kondisi bahwa kedalaman perairan lokasi pengukuran hanya sampai kedalaman 4,5 m, sehingga tidak memungkinkan alat ukur dalam pengukuran. Nilai kecerahan ini cukup mendukung dalam pengembangan wisata bahari, karena termasuk dalam kategori S1 (sangat sesuai) dan S2 (cukup sesuai).
Untuk kondisi arus di perairan Pulau Pasumpahan cukup kecil, berkisar antara 5,86-16,85 cm/dt, mendukung dalam pengembangan wisata bahari, termasuk dalam kategori S1 (sangat sesuai) dan S2 (cukup sesuai).
Tabel 4. Hasil Pengukuran Kualitas Perairan sekitar Pulau Pasumpahan.
Sumber: Pengolahan data (2015).
Ekosistem Terumbu Karang
Tutupan Karang
Lokasi pengukuran karang bagian barat laut pulau (1°7'1,60"LS dan
100°21'51,70"BT) terdapat di depan dinding batu cadas. Kemiringan dasar
perairan di tubir sampai kedalaman 10 m sekitar 50° dengan substrat dasar keras dan patahan karang mati. Pada kedalaman 10-25 m,
kemiringan sekitar 85° banyak ditumbuhi gorgonian
dan softcoral dengan bentuk yang
bagus. Pada kedalaman lebih dari 25 m kemiringan sekitar 45° dengan substrat
pasir dan patahan karang mati, ditemukan Achantaster
placi. Percent cover karang keras
hidup 7,70% yang terdiri dari 1,8% acropora
dan 5,90% non-acropora. Spesies
karang yang ditemukan pada lokasi ini yaitu Acropora sp, Montipora sp, Fungia sp, Sponge sp, Pocillopora sp, dan Astreopora sp, dengan
dominasi
dari karang jenis Montipora sp.
Namun, walaupun tutupan karang keras hidup cukup rendah, namun kondisi softcoral yang cukup baik dan indah
menjadikan lokasi ini sangat potensial sebagai lokasi penyelaman dan dapat dikembangkan menjadi lebih baik.
Pengukuran karang bagian selatan pulau
(1°7'15,00"LS dan 100°22'6,20"BT), memiliki kemiringan dasar perairan
sekitar 45° dengan substrat dasar keras, patahan karang mati, pasir, dan lumpur. Dominasi oleh karang jenis porites yang bisa ditemukan sampai
kedalaman 8 m. Karang hidup masih ditemukan sampai kedalaman 22 m. Percent Cover karang keras hidup 43,33%
yang terdiri dari 3,23% acropora dan
40,10% non-acropora. Spesies karang
yang ditemukan pada lokasi ini yaitu Montipora sp, Porites sp, Acropora sp, Pectinia sp, Coeloseris mayeri, dan Favia
sp.
Ikan Karang
Pengamatan ikan karang dilakukan secara visual di sekitar area pengukuran karang. Jenis ikan yang diamati dibagi menjadi 3, yaitu ikan indikator, ikan target, dan ikan mayor.
1. Ikan Indikator
Hasil pengamatan menunjukkan spesies ikan indikator yang ditemukan pada perairan Pulau Pasumpahan yaitu Chaetodon bennetti, Chaetodon collare, Chaetodon kleinii, Chaetodon lunula, Chaetodon oxycephalus, Chaetodon rafflesii, Chaetodon triangulum, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon vagabundus, Heniochus acuminatus, Heniochus pleurotaenia, dan Heniochus singularis. Spesies ikan indikator yang banyak dijumpai adalah pada stasiun 1 (bagian barat laut), yaitu sebanyak 9 spesies, namun hanya 15 individu yang terindentifikasi. Sedangkan lokasi pengamatan sebelah selatan pulau hanya teramati 5 spesies dengan 22 individu yang terindentifikasi.
Keragaman ikan indikator pada lokasi sebelah barat lebih tinggi dibandingkan dengan sebelah selatan yaitu sebesar 2,06, artinya ikan indikator di bagian barat cukup banyak dan bervariasi. Sedangkan keragaman ikan indikator pada bagian selatan pulau sebesar 1,40. Hasil pengamatan ikan indikator di dua lokasi Pulau Pasumpahan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Ikan Indikator di
Pulau Pasumpahan.
2. Ikan Target
Kelompok ikan target rata-rata didominasi oleh famili Acanthuridae dan Caesionidae. Keberadaan ikan target pada terumbu karang tidak hanya tergantung pada kondisi tutupan karang hidupnya, namun sangat ditentukan oleh kondisi struktur terumbu tersebut baik sebagai tempat berlindung maupun sebagai tempat bersembunyi dari predator lain. Rata-rata pada kondisi struktur terumbu karangnya bagus akan banyak dijumpai kelompok ikan target. Pada lokasi pengamatan, kelimpahan ikan target paling tinggi dijumpai pada bagian barat laut perairan Pulau Pasumpahan disajikan pada Tabel 6.
Untuk keragaman jenis ikan target pada bagian selatan pulau yaitu sebesar 2,26, lebih tinggi daripada bagian barat lautnya sebesar 1,89.
Tabel 6. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Ikan Target di Pulau Pasumpahan.
Sumber: Pengolahan data (2015).
Kelompok ikan mayor
merupakan jenis-jenis ikan yang tidak dikonsumsi dan rata-rata berukuran kecil,
beberapa jenisnya termasuk ke dalam jenis ikan hias dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Rata-rata kelompok ikan target ini
hampir tiap lokasi didominasi oleh famili Pomacentridae.3.
Ikan Mayor
Keragaman jenis ikan mayor pada bagian barat laut pulau sebesar 1,12, lebih tinggi dibandingkan dengan keragaman pada selatan pulau sebesar 0,61 disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Ikan Mayor di Pulau Pasumpahan.
Kesesuaian
Ekowisata
Pada umumnya,
ekowisata bahari sangat cocok untuk dikembangkan di daerah pulau-pulau kecil,
begitupun dengan Pulau Pasumpahan. Pesisir pantai pulau ini cukup luas dan
berpasir putih, pemandangan alamnya bagus, serta terdapat ekosistem terumbu
karang yang cukup baik akan menjadi daya tarik pulau untuk dikunjungi
wisatawan.
Pesisir pantai
Pulau Pasumpahan sangat sesuai untuk dijadikan sebagai lokasi wisata pantai
kategori rekreasi. Sepanjang pantai pulau ini, dari seluruh hasil pengukuran
dan analisis, 88,89% di antaranya menunjukkan nilai yang
sangat sesuai,
hal ini disajikan pada Gambar
2. Hanya 11,11% saja dari pesisir pantai pulau ini yang menunjukkan
kategori sesuai bersyarat (mendekati tidak sesuai), karena banyaknya sampah dan
perairan yang keruh. Namun sebagian besar lainnya terdiri dari tebing (cliff), yaitu bagian utara dan barat
laut pulau tentunya tidak dapat digunakan sebagai lokasi untuk wisata pantai. Hasil
pemetaan kesesuaian lahan di Pulau Pasumpahan sebagai wisata pantai/rekreasi
disajikan pada Gambar 2, dan hasil
perhitungan area wisata snorkeling pada
Tabel 8.
Ekowisata bahari untuk kategori snorkeling di Pulau Pasumpahan cukup sesuai untuk dikembangkan menjadi lebih baik disajikan pada Gambar 3. Batasan kedalaman perairan yang digunakan sebagai lokasi wisata snorkeling adalah sekitar 5 m, yang masih dapat dilakukan aktivitas berupa tuckdive dan melihat pemandangan bawah air berupa hamparan karang, ikan-ikan karang dan ditambah dengan adanya beberapa vegetasi bawah air dan biota laut lainnya.
Lokasi bagian timur
dan barat laut-utara pulau sangat sesuai dijadikan sebagai tempat snorkeling disajikan pada Gambar 3, selain kondisi dan tutupan
karang
yang cukup baik, wilayah perairan ini juga cukup luas
untuk aktivitas snorkeling. Bahkan
pada lokasi bagian barat laut-utara pulau yang merupakan pantai terpisah
direncanakan sebagai lokasi tertutup khusus untuk wisatawan mancanegara yang menginginkan ketenangan. Namun, kawasan pasir juga cukup luas pada
perairannya, terutama bagian barat daya menjadikan lahan wilayah ini tidak
sesuai. Hasil luasan area untuk wisata snorkeling
dapat terlihat dari Tabel 9.
Ekowisata bahari kategori selam
memiliki kesesuaian lahan cukup beragam. Peta kesesuaian lahan untuk ekowisata
bahari kategori selam disajikan pada Gambar
4, dan hasil luasannya pada Tabel 10.
Tabel 9. Luas
Kesesuaian Zona Kawasan Snorkeling di
Pulau Pasumpahan.
Gambar 4.
Peta Kesesuaian Lahan untuk Ekowisata
Bahari Kategori Selam di Pulau Pasumpahan.
Seperti halnya kesesuaian lahan untuk snorkeling,
wilayah bagian timur dan barat laut-utara merupakan kawasan yang sangat sesuai sebagai
tempat penyelaman disajikan pada Gambar
4. Lokasi tersebut memiliki kondisi karang yang baik, ditambah lagi kondisi
softcoral yang sangat cantik
menjadikan bagian barat laut pulau direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi
lebih baik lagi.
KESIMPULAN
Ekowisata bahari cukup potensial dikembangkan di Pulau Pasumpahan, di antaranya wisata pantai (rekreasi), wisata selam, dan wisata snorkeling. Indeks kesesuaian tertinggi terdapat pada potensi
wisata pantai (rekreasi) yaitu sebesar 79,91% (sangat sesuai). Daerah pesisir
pantai yang ada di pulau, hanya satu titik menunjukkan sesuai bersyarat karena
banyak sampah bertebaran di pantai dan perairan keruh.
Nilai kesesuaian wisata snorkeling
sebesar 51-68,13% (cukup
sesuai) dan kesesuaian wisata selam sebesar 50-68,83% (cukup sesuai). Satu titik di sekitar pengukuran sebelah barat laut,
sangat berpotensi dikembangkan untuk wisata selam menjadi lebih baik dengan
kondisi soft coral yang sangat indah
berada pada kedalaman sekitar 6 m.
Wisata snorkling pada lokasi
barat laut tersebut tidak cocok dikembangkan, namun berpotensi untuk
dikembangkan di sepanjang pulau yang memiliki pantai, melihat cukup lebar dan
luasnya hamparan karang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami
ucapkan kepada Kepala LRSDKP Bungus - BRSDM KKP sekaligus selaku Ketua Kelompok
Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir LRSDKP, atas dukungannya dalam
pelaksanaan kegiatan ini. Terima kasih juga kepada teman-teman peneliti, asisten peneliti, teknisi, dan
administrasi LRSDKP yang membantu terlaksananya seluruh kegiatan penelitian
sampai selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, S., F. Yulianda, D.G. Bengen, dan M. Boer. (2011). Optimalisasi Pemanfaatan Wisata
Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili
Indah Kabupaten Lombok Utara Propinsi NTB). Jurnal Agrisains. Vol. 12 (3). 8
hlm.
ANTARA Sumbar. (2015). Bappenas: Potensi Pariwisata Kepulauan
Rp. 4000 Triliun.
http://www.antarasumbar.com/berita/pariwisata/j/9/384138/bappenas-potensi-pariwisata-kepulauan-rp4-000-triliun.html.
[30 Januari 2015].
Armita,
D. (2011). Analisis Perbandingan Kualitas Air di Daerah Budidaya Rumput Laut
dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut, Dusun Malelaya, Kabupaten
Takalar. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Jurusan Perikanan.
Univiversitas Hasanuddin Makasar.
Barkauskiene,
K. dan V. Snieska. (2013). Ecotourism As An Integral Part of Sustainable Tourism
Development. Economics and Management
Journal. Vol. 18 (3).
BSN
[Badan Standardisasi Nasional]. (2010). Basis data spasial oseanografi: suhu
salinitas, oksigen terlarut, derajat keasaman, turbiditas, dan kecerahan.
Rancangan Standar Nasional Indonesia 3. 7644: 2010. 17 hlm.
Cahyanto,
N. Priyo., H. Setiyono, E. Indrayanti. (2014). Studi
Profil Pantai di Pulau Parang Kepulauan Karimunjawa Jepara. Jurnal Oseanografi UNDIP. Vol. 3 (2).
Disbudpar
Kota Padang. (2013). Profil Pariwisata Kota Padang.
Hartoko,
A. (2013). Oseanographic Characteristers
and Plankton Resources of Indonesia. Penerbit: Graha Ilmu. Cetakan pertama.
Hal 5. Yogyakarta.
Johan,
Y., F. Yulianda, V.P. Siregar, dan I. Karlina. (2011). Pengembangan Wisata Bahari
dalam Pengelolaan Sumber daya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Kesesuaian dan Daya
Dukung – Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung. Seminar Nasional
“Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Dari Aspek Perikanan Kelautan dan Perikanan”.
Institut Pertanian Bogor. Prosiding. 11 hlm.
Kementerian
Lingkungan Hidup. (2004). Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari dan Biota
Laut, Jakarta.
Kordi,
M.G.H.K. dan A. B. Tancung. (2007). Pengelolaan Kualitas Air dalam Budi Daya
Perairan. Penerbit: Rineka Cipta. Cetakan pertama. Hal 58. Jakarta.
Natural
Resources Conservation Service Soils - United States Department of Agriculture.
https://www.nrcs.usda.gov/wps/portal/nrcs/detail/soils/ref/?cid=nrcs142p2_054253. [16 Februari 2017].
Supangat,
A. dan Susanna. 2005. Pengantar
Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber daya Non-Hayati, BRKP-DKP.
Syaifullah,
M. D. (2015). Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia dan Hubungannya dengan
Pemanasan Global. Jurnal Segara. Vol. 11 (2). syHal 103-113.
TIES
(The International Ecotourism Society). (2015). What is Ecotourism?.
https://www.ecotourism.org/what-is-ecotourism. [5 Oktober 2015].
Tomczak,
M. dan J.S. Godfrey. (2001). Regional
Oceanography: An Introduction. Published online – pdf version.
Wood, M.E. (2002). Ecotourism: Principles, Practices
& Policies For Sustainability. United Nations Environment Programme - The
International Ecotourism Society. First edition.
Yulianda,
F. (2007). Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumber daya Pesisir
Berbasis Konservasi. Seminar Sain Departemen MSP, FPIK IPB. Bogor.